Resensi Buku Cinta di Tengah Wabah Kolera Karya Gabriel Garcia Marquez
![]() |
Berkenalan dengan Gabo
Siang
itu saya berada di salah satu toko buku yang ada di Makassar. Saya hendak
membayar dua buah “harta karun” yang baru saja saya temukan, yakni Ibunda karya Maxim Gorky hasil
terjemahan Pramoedya Ananta Toer dan Love
in the Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez yang diterjemahkan oleh Rosemary
Kesauly. Melihat buku yang saya bawa ke meja kasir, seorang lelaki–entah
pembeli atau bukan–yang juga berada di sana berkata kira-kira seperti ini: Kalau
suka Gabo, seharusnya suka juga Eka Kurniawan. Tentu saja Gabo yang ia maksud
adalah Gabriel Garcia Marquez sebab memang itulah panggilan akrabnya. Saya
mengiyakan, dan setelah itu, keluarlah kalimat-kalimat dari mulutnya yang hanya
mengerucut pada dua nama: Gabo dan Eka.
Bagi
saya–dan mungkin juga lelaki tadi–sulit untuk memisahkan Eka Kurniawan dari
Gabo. Saya mulai mengenal nama Gabriel Garcia Marquez berkat tulisan-tulisan
Eka dan tulisan-tulisan mengenai Eka. Di blog pribadi Eka misalnya, saya
menemukan beberapa tulisan mengenai penulis kelahiran Aratacata, Kolombia, 6
Maret 1927 itu. Bahkan saat kematiannya 17 April 2014 silam, Eka menulis sebuah
obituari yang di dalamnya dengan tegas menyebut bahwa Gabriel Garcia Marquez
adalah raksasa tunggal kesusastraan abad 20. Dengan pengakuan seperti itu,
sulit rasanya untuk tidak tertarik dengan karya-karya Gabo.
Pertemuan
pertama saya dengan karya Gabo adalah ketika tak sengaja melihat bukunya terpajang
di salah satu rak perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin
Makassar, kampus tempat saya kuliah dulu. Andaikata saat itu saya belum pernah
mendengar nama besar seorang Gabriel Garcia Marquez, kemungkinan saya tidak
akan menyentuh buku yang berjudul Klandestin
di Chile itu. Buku itu sendiri, tidak seperti bayangan saya tentang karya
Gabo–seperti misalnya One Hundred Years
of Solitude–yang kerap disebut di beberapa tulisan. Klandestin di Chile adalah non-fiksi hasil wawancara Gabo dengan
Miguel Littin, seorang warga negara Chile.
Miguel
Littin sendiri dilarang pulang ke negaranya oleh pemerintahan Chile yang
dipimpin oleh Pinochet saat itu. Ia kemudian menyamar dan masuk ke Chile secara
diam-diam. Dari penyamarannya, ia membuat film yang menyerang pemerintahan diktator Pinochet. Gabo
kemudian menulis kisah petualangan Miguel Littin itu setelah mewawancarainya selama
18 jam. Kabarnya, setelah tiba di pelabuhan Chile, pemerintahan Pinochet
membakar 12.000 eksemplar buku tersebut. Dari hasil pembacaan buku itu saja, saya
meyakini bahwa Gabriel Garcia Marquez memang memiliki salah satu elemen penting
untuk disebut sebagai penulis hebat. Ia
berani, benari menulis kebenaran, yang meskipun hal itu membahayakan nyawanya sendiri.
Pertemuan
lainnya adalah ketika saya menemukan terjemahan tulisan-tulisan Gabo di
beberapa media daring. Salah satu tulisan yang paling saya ingat adalah cerpen
berjudul Sleeping Beauty and the Airplane
yang diterjemahkan oleh A.S. Laksana ke dalam bahasa Indonesia menjadi Putri Tidur dan Pesawat Terbang. Cerpen
itu berkisah tentang seorang lelaki yang duduk bersebelahan dengan seorang
wanita di atas sebuah pesawat. Sayangnya, dalam penerbangan dari Paris menuju
New York itu, si wanita hanya tertidur pulas selama 8 jam nonstop tanpa jeda
tanpa henti, tanpa menyadari bahwa seorang lelaki yang sangat mengagumi
kecantikannya duduk disampingnya.
Cerpen
tersebut terus tertinggal di kepala saya bukan karena ceritanya, melainkan dari mana
ide cerita itu bermula. Wanita yang menjadi inspirasi Gabo pada cerpen itu
terungkap dalam tulisan Nicholas Shakespeare berjudul Gabriel Garcia Marquez’s Secret Muse Finally Reveals Herself yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Inspirasi Rahasia Gabriel Garcia Marquez Akhirnya mengungkapkan Dirinya
oleh Marlina Sopiana. Dalam tulisan itu, seorang wanita bernama Silvana de
Faria menceritakan pengalamannya bertemu pengarang Kolombia itu. Ia yakin bahwa obrolannya dengan Gabriel Garcia
Marquez di ruang tunggu bandara Charles de Gaulle, Paris pada tahun 1990 adalah
obrolan yang akhirnya mengilhami terciptanya cerpen Putri Tidur dan Pesawat Terbang. Pengakuan itu sedikit menjelaskan
proses kreatif Gabo sebagai pengarang: bahwa hal-hal sederhana di sekitar kita
bisa diolah menjadi tulisan yang menarik selama mampu disajikan dengan cara
yang baik.
Terakhir,
saya berhasil menamatkan Love in the Time
of Cholera. Seperti judulnya, novel itu merupakan sebuah kisah cinta. Singkatnya
mungkin seperti ini: Seorang perempuan bernama Fermina Daza tanpa alasan yang
jelas tiba-tiba memutuskan hubungan asmaranya dengan lelaki bernama Florentino
Ariza. Fermina Daza kemudian menikah dengan lelaki lain yang lebih terpandang
yakni Dr. Juvenal Urbino. Florentino Ariza menunggu selama lima puluh
tiga tahun, tujuh bulan, dan sebelas hari untuk bisa kembali mengungkapkan
perasaannya kepada Fermina Daza.
Kisah
cinta tersebut terdengar sangat luar biasa sebab sangat sulit membayangkan
bahwa ada manusia yang sanggup menunggu cintanya selama itu. Meskipun sebenarnya
banyak yang beranggapan bahwa kesetiaan Florentino Ariza hanya omong kosong
sebab dalam penantiannya, ia berdalih mengobati sakit hatinya dengan meniduri–tanpa menikah–dengan kurang lebih 600 wanita. Apakah menanti wanita pujaan dengan
tetap berhubungan bersama banyak wanita lain bisa dianggap sebuah kesetiaan?
Mungkin pertanyaan seperti itulah yang kerap digugat oleh beberapa pembaca lain novel ini.
Terlepas
dari hal itu, Love in the Time of Cholera
bisa dibilang adalah kisah cinta yang complete.
Sebuah novel dengan berbagai bentuk kisah percintaan. Tentang kesetiaan, tentang
perselingkuhan, tentang cinta masa muda, tentang cinta yang pendek, tentang
cinta yang tak terbalas hingga mengarah pada takdir sebuah cinta.
Gabriel
Garcia Marquez menyajikan ceritanya dengan sangat menarik, dan saya yakin, hal
tersebut juga hadir di karya-karyanya yang lain. Setelah Love in the Time of Cholera, saya bertekad membaca One Hundred Years of Solitude yang tersohor itu. Setelah Love in the Time of Cholera, saya juga bertekad
membaca seluruh karya Gabo. Tapi setelah Love
in the Time of Cholera, sialnya saya kerap dihantui pertanyaan seperti ini:
Apa tidak sebaiknya saya mengikuti kelakuan Florentino Ariza? Ha-ha-ha. Doakan
saja yang terbaik.
Posting Komentar untuk "Resensi Buku Cinta di Tengah Wabah Kolera Karya Gabriel Garcia Marquez"