Mengenal Beberapa Alat Musik Mandar
Sekitar
setahun yang lalu, pada liburan semester, saya memutuskan untuk mengisi waktu
libur kuliah di sebuah sanggar seni yang ada di tanah Mandar, tepatnya di dusun
Lambe, Tinambung, Polewali Mandar. Sanggar ini menempati sebuah rumah di
tengah-tengah pemukiman warga. Rumah tua yang konon katanya angker dan sering
menampakkan sosok-sosok gaib. Sanggar itu bernama Sossorang. Jika di Indonesiakan, Sossorang berarti pusaka. Mungkin si pendiri – Dhalif – memilih kata
Sossorang ini dengan harapan suatu
saat sanggarnya akan menjadi pusaka kebanggaan tanah Mandar dalam ranah
kesenian.
Beberapa
tahun belakangan, memang saya tertarik untuk mendalami Mandar. Dari sejarah,
saya banyak membaca buku-bukunya. Begitupun soal tradisinya, saya berusaha
sebisa mungkin menyaksikan prosesi-prosesi seperti pernikahan, syukuran, dsb.
Tak hanya itu, soal kuliner pun saya berusaha untuk belajar membuatnya- dari
orang tua tentunya. Saya bukan bermaksud untuk menjadi budayawan Mandar, saya
hanya sekadar ingin mengetahui semua itu. Salah satu sebabnya adalah karena saya
tidak fasih berbahasa Mandar. Itu adalah salah satu penyesalan saya selama ini padahal
orangtua saya Mandar tulen. Sehari-hari mereka berkomunikasi dengan bahasa
Mandar di rumah. Seharusnya saya bisa belajar banyak dari mereka. Karena
ketidakfasihan tersebut, saya mungkin salah seorang yang berkontribusi menurunnya
penggunaan atau bahkan berujung kepunahan bahasa daerah, termasuk bahasa Mandar.
Makanya, dengan mempelajari hal-hal di atas, setidak-tidaknya mengurangi rasa
bersalah saya tersebut.
Dan entah kenapa saya kemudian seakan jatuh cinta dengan alat-alat musik tradisi Mandar. Saya kemudian bertekad untuk mempelajarinya. Lagi-lagi saya tidak bermaksud untuk menjadi ahli, saya hanya ingin sekadar tahu. Pertanyaan yang terkadang muncul di kepala saya adalah “ada berapa banyak generasi muda Mandar yang mau mempelajari ini?” Mungkin hanya sedikit. Saya bermaksud ingin terlibat dalam pelestarian budaya-budaya Mandar termasuk musik tradisionalnya.
Dan entah kenapa saya kemudian seakan jatuh cinta dengan alat-alat musik tradisi Mandar. Saya kemudian bertekad untuk mempelajarinya. Lagi-lagi saya tidak bermaksud untuk menjadi ahli, saya hanya ingin sekadar tahu. Pertanyaan yang terkadang muncul di kepala saya adalah “ada berapa banyak generasi muda Mandar yang mau mempelajari ini?” Mungkin hanya sedikit. Saya bermaksud ingin terlibat dalam pelestarian budaya-budaya Mandar termasuk musik tradisionalnya.
Saya
akhirnya magang di Sossorang kurang
lebih satu bulan untuk mengenal dan mempelajari beberapa alat musik Mandar. Berikut
beberapa diantara alat musik tradisional Mandar tersebut:
Kacaping
A'bana (ayahnya) Fatimah, seorang maestro musik tradisional Mandar sedang memainkan Kecapinya |
Alat
Musik ini dalam bahasa Indonesia sama dengan kecapi. Dalam KBBI disebutkan
bahwa kecapi adalah alat musik tradisonal yang berdawai (bersenar) tiga, lima,
enam, dan sebagainya, tidak bergaris nada, dan dimainkan dengan jari. Sesuai
dengan itu, kacaping Mandar memang
sebuah alat musik petik, tapi yang membedakan, ia hanya memilki dua senar. Bentuknya
sendiri seperti perahu. Ukurannya panjang dengan ukiran- ukiran cantik di
kepala dan ekornya. Cara memainkannya
pun cukup unik. Pemain kacaping atau
yang biasa disebut pakkacaping, menimang
kecapinya seperti bayi sambil bernyanyi
dalam bahasa Mandar.
Ada
satu mitos mengenai kacaping ini. Konon,
jika ada seseorang yang bernazar untuk mengadakan pertunjukan kacaping, lalu kemudian nazar itu tidak
dilaksanakan, maka orang tersebut akan jatuh sakit. Begitupun kacaping-nya, jika ada nazar yang tidak
ditepati, maka kacaping tersebut akan
mengeluarkan suara sendiri. Sedikit horror memang, bisa percaya bisa tidak, tapi terlepas dari itu, hal ini setidaknya
memberikan pelajaran bahwa jika membuat
nazar, ya harus dilaksanakan.
Dahulu,
pertunjukan kacaping sering menjadi
hiburan dalam acara-acara hajatan di tanah Mandar. Namun sekarang, pertunjukan ini
sudah sangat sulit ditemukan. Masyarakat lebih suka dengan musik-musik modern. Tidak
adanya nilai jual membuat pemain kacaping
hanya tinggal hitungan jari saja. Jika tidak ada regenerasi bisa jadi suatu
saat pakkacaping akan punah dan hanya
menyisakan kacaping-nya sebagai benda bersejarah saja.
Calong
Calong |
Awalnya
calong dipakai oleh para petani
Mandar sebagai hiburan ketika menunggu hasil panenan di sawah. Namun saat ini,
agaknya sulit lagi menjumpai petani yang memainkan calong di sawah garapannya. Akan lebih mudah menemukan calong di tempat-tempat kesenian di
Mandar, sebab ia digunakan sebagai instrumen musik tradisional.
Calong sendiri pernah mengharumkan nama Mandar dalam kancah nasional. Pada tahun 2013 lalu, bersama dengan penampilan khas Mandar lainnya seperti tarian, pertunjukan calong ditampilkan dalam pawai seni budaya nusantara yang diselenggarakan di istana negara. Saat itu Sulawesi Barat akhirnya menjadi penampil terbaik bersama sembilan provinsi lainnya.
Rawana
Parrawana menjadi pengiring arak-arakan pengantin |
Rawana bisa dibilang alat musik yang masih tetap eksis hingga hari ini di tanah Mandar. Hal ini dikarenakan kebutuhan akan alat musik ini masih tetap tinggi. Misalnya saja dalam acara pernikahaan, rasanya tak lengkap jika tak ada iringan rawana saat rombongan mempelai pria bertandang ke kediaman mempelai wanita dalam prosesi lamaran. Belum lagi dalam tradisi tahunan mappatamaq (penamatan al-quran,) yang biasanya dilakukan dengan mengadakan pertunjukan sayyang pattuqduq (kuda menari), parrrawana menjadi salah satu komponen penting yang membuat pertunjukannya menarik. Masih adanya nilai jual semacam itulah yang membuat kelompok-kelompok rebana masih tetap eksis dan membuat alat musik rebana mampu bertahan hidup di tanah Mandar hingga hari ini.
Keke
Keke |
Gonggaq
Gonggaq Lawe |
Di
Mandar, ada dua jenis alat musik gonggaq.
Pertama adalah gonggaq lima (lima bermakna tangan dalam bahasa
Indonesia) yakni gonggaq yang
dimainkan dengan tangan. Alat musik ini terbuat dari bambu yang disebut tallang. Sesuai namanya, cara memainkan gonggaq lima adalah dengan
dipukul-pukul ke tangan.
Kemudian
gonggaq yang kedua adalah gonggaq lawe (lawe dalam bahasa Indonesia bermakna mulut). Seperti namanya, gonggaq lawe memang dimainkan dimulut. Akan
tetapi ia tidak ditiup seperti keke
ataupun suling, cara memainkan gonggaq
lawe dengan cara ditarik. Gonggaq
lawe diletakan di mulut, yakni diapit oleh bibir atas dan bibir bawah,
kemudian ditarik. Mulut hanya sebgai tempat resonansinya saja. Berbeda dengan
gonggaq lima, gonggaq lawe terbuat dari
ponna manyang (pohon enau). Alat
musik ini sendiri digunakan sebagai alat komunikasi pada zaman dahulu.
Posting Komentar untuk "Mengenal Beberapa Alat Musik Mandar"