Resensi Buku Unjuk Rasa Karya Syafri Arifuddin: Sebuah Usaha Menuliskan Keresahan
Apa
yang tersisa dari perhelatan pesta demokrasi seperti pemilihan kepala daerah,
pemilihan umum legislatif, atau pemilihan presiden? Kalender? Baju kampanye?
Bendera partai? Sangat bisa. Barang
seperti itu memang sering digunakan sebagai alat kampanye. Tapi untungnya, ketiga-tiganya
tidak memberikan dampak buruk apa-apa setelah pemilihan usai sebab yang pertama,
sangat besar kemungkinannya berakhir sebagai pengganjal lemari, sementara dua
yang terakhir sangat mungkin beralih fungsi menjadi keset yang sering diinjak-injak
di depan pintu kamar mandi.
Sayangnya,
yang sulit lenyap setelah kontestasi politik semacam itu adalah kebencian, atau
lebih tepatnya kebencian akibat perbedaan pilihan. Kita mungkin acapkali menemukan
situasi semacam ini: Saling caci-maki karena perbedaan pilihan politik, saling
intimidasi karena perbedaan pilihan politik, atau bahkan ujaran membunuh karena perbedaan pilihan
politik. Parahnya lagi, kebencian seperti itu terus terpelihara bahkan jauh
setelah kontestasi politik selesai. Jika terus terjadi, hal ini tentunya tidak
baik bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita.
Syafri
Arifuddin Masser membaca persoalan tersebut dalam buku puisinya, Unjuk Rasa: Kumpulan Sajak-Sajak Politik. Lihat
saja misalnya dalam puisi berjudul Sebuah
Ikatan yang Bisa Putus Kapan Saja. Puisi itu berusaha menyindir kelakuan
sebagian mayarakat yang kerap
bersitegang karena mati-matian mempertahankan sesuatu yang dianggapnya paling
benar. Ketegangan tersebut pada akhirnya dapat memutus hubungan kekerabatan,
dan pilkada–sebagaimana disebut dalam puisi itu–adalah salah satu pemicunya.
Suara yang lebih menohok dapat dilihat dalam Gara-Gara Pemilu. Puisi itu bahkan menggambarkan hubungan ayah dan anak yang renggang hanya karena berbeda pilihan politik. Mungkin saja ini tidak benar-benar terjadi, tapi mengingat dalam praktik politik kita cenderung mengandung unsur-unsur kebencian, maka bukan tidak mungkin keretakan hubungan keluarga–seperti ayah dan anak tadi–bisa saja terjadi atau bahkan sudah terjadi di suatu tempat di manapun di negeri ini.
Suara yang lebih menohok dapat dilihat dalam Gara-Gara Pemilu. Puisi itu bahkan menggambarkan hubungan ayah dan anak yang renggang hanya karena berbeda pilihan politik. Mungkin saja ini tidak benar-benar terjadi, tapi mengingat dalam praktik politik kita cenderung mengandung unsur-unsur kebencian, maka bukan tidak mungkin keretakan hubungan keluarga–seperti ayah dan anak tadi–bisa saja terjadi atau bahkan sudah terjadi di suatu tempat di manapun di negeri ini.
Tema
yang menyinggung langsung politik praktis seperti di atas memang beberapa kali
Syafri angkat dalam kumpulan puisinya ini. Sebut saja misalnya Dalam Bilik Suara, Setelah Pesta Demokrasi
Selesai, Tidak Memilih Golongan Putih, Tahun-Tahun Politik, dan Mahar Politik. Tentu saja semua puisi
itu mengungkapkan persoalan yang berbeda, tapi tetap saja mengerucut pada satu
hal yang sama, yakni praktik kehidupan demokrasi kita. Puisi-puisi seperti yang
disebut di atas sedikit bisa mewakili persoalan politik seperti apa yang hendak
disampaikan penulisnya.
Tak
melulu soal politik, Syafri juga berusaha mengangkat isu-isu lain dalam beberapa
puisinya. Lihatlah ke Bawah Sekali Saja,
Tuan adalah upayanya untuk menyuarakan keadilan sosial. Lain pula dalam Anti Tabayun, ia menangkap fenomena di mana sebagian orang dengan gampangnya
menghakimi orang lain tanpa melihat inti permasalahan secara keseluruhan. Tema-tema
seperti itu, meskipun tak menyangkut politik secara langsung, tapi tetap saja
persoalan-persoalannya kadangkala dipengaruhi oleh gejolak-gejolak politik yang
terjadi.
Dalam
kata pengantarnya, Syafri mengatakan bahwa puisi-puisinya dalam Unjuk Rasa adalah hasil pembacaannya
terhadap keadaan. Cara tersebut membuat kita sebagai pembaca merasakan bahwa
fenomena yang dibicarakan Syafri dalam puisinya adalah fenomena yang yang
pernah kita dengar atau bahkan pernah kita rasakan sebelumnya. Kalau cara
tersebut adalah tolok ukur keberhasilan sebuah puisi, maka beberapa puisi dalam
Unjuk Rasa bisa dikata cukup sukses
menyampaikan maksudnya.
Selain itu, puisi-puisi Syafri adalah puisi yang juga lahir dari pembacaannya terhadap teks. Jejak bacaannya dapat dilihat misalnya dalam Sebuah Ramalan yang Barangkali Benar-Benar Terjadi. Sejak awal, puisi itu sudah menyebut bahwa 1984 karya George Orwell adalah penyebabnya. Dalam puisi yang berbeda, yakni Percakapan Imajiner Dengan Niccolo Machiavelli, Syafri membicarakam relevansi pemikiran Machiavelli di era sekarang. Dalam konteks penciptaan, ini menunjukkan bahwa karya dapat menghasilkan karya, bahwa tulisan dapat menghasilkan tulisan lainnya. Syafri melahirkan puisinya bahkan dari bacaannya sekalipun.
Selain itu, puisi-puisi Syafri adalah puisi yang juga lahir dari pembacaannya terhadap teks. Jejak bacaannya dapat dilihat misalnya dalam Sebuah Ramalan yang Barangkali Benar-Benar Terjadi. Sejak awal, puisi itu sudah menyebut bahwa 1984 karya George Orwell adalah penyebabnya. Dalam puisi yang berbeda, yakni Percakapan Imajiner Dengan Niccolo Machiavelli, Syafri membicarakam relevansi pemikiran Machiavelli di era sekarang. Dalam konteks penciptaan, ini menunjukkan bahwa karya dapat menghasilkan karya, bahwa tulisan dapat menghasilkan tulisan lainnya. Syafri melahirkan puisinya bahkan dari bacaannya sekalipun.
Pada
akhirnya Unjuk Rasa adalah bentuk keresahan
Syafri atas apa yang terjadi di sekitarnya. Ia resah atas kepentingan politik
yang merugikan sebagian orang, ia resah atas perilaku sosial di dunia nyata dan
maya yang cenderung terpecah, ia pun resah
atas masyarakat yang apolitis. Jikalau keresahan seperti itu penting untuk
disuarakan, lantas sampai di mana puisi memiliki daya untuk memperbaiki keadaan
yang diresahkan penulisnya? Bisa jadi tidak mampu sama sekali. Tapi jika kita
merujuk Wawan Kurniawan yang menuliskan bahwa dengan sastra yang baik, empati
kita dapat tumbuh dan berkembang, maka sastra–termasuk juga puisi–paling tidak
mampu melakukan hal itu. Semoga puisi Syafri dalam Unjuk Rasa adalah puisi-puisi yang setidaknya mampu menumbuhkan
empati kita sebagai seorang manusia.
Posting Komentar untuk "Resensi Buku Unjuk Rasa Karya Syafri Arifuddin: Sebuah Usaha Menuliskan Keresahan"