Perempuan yang Duduk di Depan Pintu
![]() |
Ilustrasi: Pixabay.com |
Tak
baik duduk di depan pintu. Pamali.
Itulah
satu-satunya alasan–yang meskipun sebuah larangan–aku mengagumi sekaligus
mengasihani perempuan itu. Tak ada sebab yang pasti kenapa aku menyebutnya
perempuan. Kalaupun ada yang bilang perempuan memiliki derajat yang lebih
tinggi dari wanita– sebab yang pertama dari kata empu sedangkan yang belakangan
dari kata wani ditoto–aku tak mau
terlalu ambil pusing. Setahuku, keduanya sama saja: sama-sama punya lubang
tempat keluarnya umat manusia.
Dari
cerita yang kudengar, kutahu kalau perempuan itu–karena rasa penasaran–sering
dengan sengaja melanggar pamali. Ibunya
sudah berulang kali melarangnya tapi tiap kali dilarang tiap itu juga ia selalu
melawan. Dari cerita itu saja, aku jadi paham kalau ia sejenis perempuan yang kepalanya
seperti batu.
“Pamali itu larangan yang tidak masuk
akal. Aku tak mempercayainya dan akan kubuktikan kalau pamali itu tidak benar,“
katanya pada ibu suatu waktu
Sungguh,
itu terdengar lebih daripada sekadar rasa penasaran. Kalau kutimbang-timbang
ungkapan yang pas, mungkin itu lebih layak disebut perlawanan atau pemberontakan.
Aku yakin gen-gen seperti itu hanya dimiliki oleh satu dua orang generasi yang
lahir di muka bumi.
Rasa
penasaran perempuan itu terhadap pamali bermula ketika waktu kecil sering
dilarang menggunting kuku. Kata ibunya, tidak baik menggunting kuku pada malam
hari. Pamali. Nanti pencuri masuk ke
rumah. Pada awalnya ia menurut saja. Tapi mau bagaimana lagi, kepala bocah
selalu penuh dengan pertanyaan yang memaksa untuk dijawab. Pada suatu malam tatkala
ibunya sudah tidur, ia diam-diam ke dapur menggunting kuku dan menaruh potongan
kuku di kantong celana tidurnya. Pada akhirnya ia lega sebab malam itu tak
terjadi apa-apa meskipun sebuah parang telah ia siapkan di kolong ranjang.
Peristiwa
lain yang masih ia ingat betul adalah ketika ibu menarik telinganya pada suatu petang.
Ia memang sengaja tidak pulang ke rumah sejak sore waktu itu. Ibu kemudian menemukannya
duduk di teras masjid dan saat itu juga menjewer telinganya keras-keras. Sewaktu
ditanya kenapa tidak pulang, ia malah balik bertanya sambil meringis kesakitan:
“Katanya kalau keluar maghrib akan diculik setan, tapi kok setannya tidak
datang-datang?” Ibunya tak tahu harus menjawab apa. Sambil terus mengomel ia menarik
telinga anak gadisnya seperti sapi yang dipaksa ke kandang.
Hingga
perempuan itu dewasa, kelakuan sejenis itu beberapa kali ia lakukan. Hasilnya pun
sama saja: tak terjadi apa-apa. Sebetulnya ia tidak berharap hal buruk itu akan
betul-betul terjadi pada dirinya. Tidak. Hanya saja, ia ingin buktikan kepada
ibunya kalau semua yang pamali-pamali
itu tidak betul. Pada akhirnya memang ia menang dari ibunya walaupun kebanyakan
hanya dengan argumen saja.
Saking
berhasratnya perempuan itu melawan pamali,
kebiasaan itu terbawa ke kehidupannya di luar rumah. Waktu itu, ia masih kelas
satu SMA saat berita duka meninggalnya seorang siswa menyebar di sekolahnya.
Dari sekian banyak cerita yang beredar perihal kematian tersebut, ia tertarik
hanya pada satu hal: kematian siswa itu karena sehari sebelumnya berada di
posisi tengah ketika foto bertiga. Ia mendengarnya dari teman sebangkunya sendiri
dan tak ada yang membuatnya begitu penasaran selain cerita macam itu. Saat itu
juga ia minta foto bertiga dan mengambil posisi di tengah. Keesokan harinya ia
dengan begitu telak membantah seluruh perkataan temannya sebab ia mampu
membuktikan dirinya baik-baik saja. “Kematian itu datangnya dari Tuhan. Apa
hubungannya sama foto?” Tutup perempuan itu.
Perempuan
itu bahkan pernah menceramahi teman kantornya sendiri. Waktu itu teman
kantornya bercerita kalau menyapu pada malam hari bisa menyebabkan sulitnya
rejeki. Setelah mendengar itu, tiap malam perempuan itu justru menyapu di rumah.
Beberapa bulan kemudian ia mendapat promosi jabatan sedangkan temannya itu di
situ-situ saja. Waktu temannya itu tahu, ia mengutarakan ingin melakukan hal
yang sama. Tapi perempuan itu justru menampar dengan pernyataan yang membuat
temannnya itu tak mampu berkata-kata: “Rejeki itu datang karena doa dan usaha.
Tidak ada hubungannya sama sapu-menyapu.”
Ya,
begitulah cara perempuan itu melawan semua kepamali-pamalian.
Aku kira, semua orang yang percaya pamali
akan mati kutu kalau berdebat dengannya. Gaya bicaranya juga mengagumkan, bak
orator yang sedang berpidato di atas mimbar. Pernah sekali waktu, aku mengobrol
dengannya. Dari pembicaraan itu, aku jadi tahu kalau perempuan itu sebenarnya paham
kalau ada maksud baik dibalik pamali.
Hanya saja, ia tak habis pikir kalau di zaman sekarang masih banyak orang
percaya pada hal yang tak pernah masuk diakalnya. Memotong kuku di malam hari dilarang,
ya karena dulu belum ada penerangan memadai, keluar saat maghrib dilarang, ya
karena saat itu waktu shalat, berpindah-pindah tempat saat makan dialarang, ya
karena memang tidak sopan. Begitulah ia membangun pembenaran-pembenaran dalam
kepalanya. Rentetan jawaban seperti itu, membawa keyakinan dalam dirinya bahwa pamali itu hanya ketakutan-ketakutan
yang diciptakan orangtua agar anaknya patuh. Ia berjanji pada dirinya sendiri
bahwa cara-cara seperti itu tak akan pernah ia lakukan pada anak-anaknya kelak.
Mendengar
semua itu, rasa-rasanya aku telah menjadi penggemar rahasianya hari itu juga.
Tapi aku mengagumi perempuan itu sama seperti aku mengasihaninya. Belakangan
ini, ada yang membuatku bertanya-tanya. Wajah perempuan itu didera semacam
kemurungan yang entah apa sebabnya. Aku yakin, ia sedang tidak baik-baik saja. Dari
raut mukanya, seperti ada sebuah persoalan besar yang bahkan tak bisa dihadapi
oleh kepalanya sendiri. Kukira, kalau ia terus-menerus bungkam, situasi macam
itu akan terus mendekam dalam dirinya. Menjadi beban yang tak hanya dibawa
tidur tapi juga dibawa berak.
***
Tak
baik duduk di depan pintu. Pamali.
Itu
kata ibu dan aku tanya alasannya. Ibuku bilang nanti sulit mendapatkan jodoh. Keesokan
harinya ibuku heran ketika tiba-tiba aku duduk di depan pintu rumah sepulang
kerja. Hari-hari berikutnya juga, setiap hari, setiap sore. Sudah tak terhitung
berapa kali Ibuku melarang. Tapi dari nada suaranya akhir-akhir ini, itu lebih
pantas disebut ekspresi kecapaian ketimbang larangan. Sebetulnya aku tak mau
membantah perintah ibu. Tapi perihal yang satu ini, menjadi pengecualian. Aku
yakin ibu mengerti meskipun aku yakin juga kalau ia hanya terpaksa.
Tak
baik duduk di depan pintu. Pamali.
Itu
kata ibu dan aku tak percaya. Aku duduk di depan pintu rumah hanya untuk
membuktikan kalau itu salah. Setap hari, setiap sore. Kalau ada yang tak
sependapat denganku, aku persilakan datang ke rumah dan akan kujelaskan duduk
perkaranya. Tapi sayangnya tak pernah ada yang datang. Tidak untuk menentang,
tidak juga untuk meminang padahal aku masih perawan.
Tak
baik duduk di depan pintu. Pamali.
Itu
kata ibu dan aku sudah empat puluh. Aku tak tahu apakah akan tetap duduk di
depan pintu ataukah harus bersimpuh di kaki ibu?
Posting Komentar untuk "Perempuan yang Duduk di Depan Pintu"