Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tetanggaku yang Baik Hatinya

Ilustrasi: Pixabay.com

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa Tuhan bersama para perantau yang jauh dari orangtua. Saya setuju. Tapi, jika diturunkan lagi, ada kriteria yang spesifik, yang merepresentasikan kedekatan dengan Tuhan lebih dari itu, yakni mahasiswa rantau. Lebih spesifiknya lagi adalah yang ngekos, berstatus tingkat akhir, dan jomblo.

Alasannya, selain harus tegar menahan rindu berkumpul bersama keluarga, ia juga harus pasrah memenuhi sebagian menu makanannya dengan Indomie. Kemudian, musti tegar pula jika di-bully pacaran sama operator, plus harus sabar menghadapi dosen pembimbing dan penguji yang tingkahnya naudzubillah. Sungguh kesabaran yang di atas rata-rata. Makanya, jenis mahasiswa rantau seperti di atas, kemungkinan besar sangat disayang Tuhan. Jika tidak percaya, baca saja dalilnya: Innallaha ma’aashobirin. Iya toh

Syukurnya, saya masuk kategori seperti mahasiswa di atas. Bedanya, saya tidak ngekos. Saya tinggal berdua bersama sepupu di rumah salah seorang keluarga yang sudah lama tidak dihuni. Jadi, masak-masak sendiri dan nyuci-nyuci sendiri juga. Salah satu yang membedakan adalah, anak kos bayar uang kos, sementara saya tidak. Alias gratis… tis ...tis … dan tis.

Sebagai mahasiswa dengan tipe tersebut, membuat beberapa orang akhirnya peduli (baca:kasihan) dengan saya. Termasuk tetangga yang tepat berada di samping rumah. Mereka sering membawa lauk ke rumah dan memberikan dengan cuma-cuma. Kadang-kadang ikan goreng, tempe goreng, perkedel, dan lain-lain. Yang sering membawanya adalah seorang wanita paruh baya yang sering kita (saya dan sepupu) panggil nenek. Kata bapak saya, mereka keluarga juga,tapi kekerabatannya jauh. Makanya mungkin, selain karena memang kasihan, si nenek ini sering memberikan makanan karena pertimbangan kekeluargaan. Tapi terlepas dari itu, soal pemberian makanan ini, satu hal yang pasti: paling tidak kualitas makanan saya, akan di atas daripada indomie.

Suatu hari saya sedang sendiri di rumah sebab sepupu saya keluar kota untuk waktu yang lama. Sedekah lauk si nenek ini semakin intens, yakni tiap hari. Pagi, sebelum saya keluar rumah, nenek datang lagi membawa lauk. Begitu seterusnya. Saya sejujurnya senang tapi diberikan makanan tiap hari seperti itu, ya tidak enak juga. Tapi mau tidak mau tetap harus dimakan demi menghormati pemberiannya.

Hingga pada suatu hari lauk pemberian si nenek tidak sempat saya makan. Hari itu saya terburu-buru keluar sebab ada urusan. Lauk hanya saya letakkan di meja dan kemudian saya tinggal. Seharian itu saya makan di luar dan  ketika tiba di rumah, langsung istirahat. Keesokan harinya ketika si nenek membawa lauk lagi, dia melihat lauk kemarin belum tersentuh sama sekali. Saya jadi salah tingkah. Rasa-rasanya dia menghardik saya “Dasar tidak tau diuntung, sudah dikasi makanan, ehh malah tidak dimakan”.  

Sebagai mahasiswa yang mendapatkan makanan gratis adalah sebuah kenikmatan, sungguh ini adalah perkara yang serius. Bagaimana tidak, bisa-bisa pasokan lauk-lauk itu akan terhenti. Kalau sudah begitu, risikonya adalah dompet akan lebih cepat menipis. Tapi, utungnya saja si nenek tidak tersinggung, dia tetap sering membawa makanan ke rumah. Bahkan di bulan ramadhan ini  dia masih sering membawakan takjil ke rumah sebagai hidangan berbuka.

Sungguh saya merasa bersalah sejak kejadian itu. Tapi terlepas dari itu, lewat si nenek ini saya jadi semakin yakin bahwa di dunia ini tidak kekurangan orang-orang baik. Mereka bahkan hadir di sekitar kita. Saya teringat ceramah tarwih beberapa malam lalu, bahwa sedekah ternyata dapat memanjangkan umur. Saya doakan semoga si nenek dan keluarganya diberikan umur yang panjang. Amin.

#15HariMenulis

Posting Komentar untuk "Tetanggaku yang Baik Hatinya"