Cara Menjadi Penulis: Jadilah Pembaca Terlebih Dahulu
![]() |
Ilustrasi: Pixabay.com |
Cara menjadi penulis adalah dengan mulai menulis. Kalimat itulah yang mungkin menjadi tips menulis pertama yang saya dapatkan. Selanjutnya Saya mencoba mulai menulis apapun yang muncul di kepala. Kemudian pada sebuah workshop sastra yang diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seni sebuah kampus, dari mulut pematerinya terlontar ucapan, “kalau saya tidak menulis, saya membaca. Kalau saya tidak membaca, saya menulis.” Hari itu juga saya yakin bahwa menulis bukan hanya sekadar menghasilkan tulisan tetapi juga memasok bacaan. Pada waktu lain, sebuah quotes dari Seno Gumira Ajidarma tetiba muncul di lini masa media sosial yang betuliskan, engkau hanya bisa jadi penulis, setelah jadi pembaca, berhasil mengacaukan pikiran saya. Hari itu juga saya pun bingung: terus menulis atau membaca terlebih dahulu.
Saya
yakin keduanya sebetulnya saling berkaitan. Ketika kita menulis, secara
otomatis kita ingin tulisan kita dibaca–paling tidak oleh diri sendiri. Akan sangat
aneh tentunya jika seorang yang senang menulis tapi tidak senang membaca. Itu
sama anehnya dengan seorang pelukis tapi tak senang lukisan. Persoalan yang
mana terlebih dahulu, itu menjadi urusan masing-masing individu. Hanya saja, semuanya
harus serba seimbang. Kita umpamakan diri kita sebagai sebuah cawan yang
memiliki dua saluran. Saluran pertama untuk mengisi air, sementara saluran
kedua untuk menyalurkan air. Saluran pertama ibarat membaca, sedangkan saluran
kedua ibarat menulis. Kalau kita terus menyalurkan air (menulis) tanpa mengisi
(membaca), maka dapat membuat cawan (diri) itu menjadi kosong. Jika sudah seperti
itu, maka apa lagi yang bisa ditulis? Tidak ada. Begitupun jika terus mengisi
(membaca) tanpa menyalurkan (menulis), kita mungkin saja menjadi pandai, akan
tetapi tidak menghasilkan karya apapun. Kalau sudah begitu, nama kita akan
mati, seperti yang Pramoedya Ananta Toer katakan, “Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari
sejarah.” Sampai di sini, saya menyimpulkan, bagi seorang penulis, tidak
menulis sama buruknya dengan tidak membaca.
Pertanyaannya
kemudian apakah memang membaca begitu berpengaruh dalam proses menulis? Tentu
saja, dan bahkan tak hanya dalam tulisan. Kita mungkin sudah sangat sering
mendengar cerita orang-orang yang berpindah keyakinan hanya karena membaca ayat
dalam sebuah kitab suci atau cerita orang-orang yang perilakunya berubah hanya
karena membaca buku-buku motivasi. Seperti itulah mungkin pengaruh dari sebuah
bacaan.
Berkaitan
dengan menulis, tentunya banyak manfaat membaca yang sekaligus dapat
mempengaruhi seorang penulis. Mulai dari menambah perbendaharaan kata hingga melatih
keterampilan berfikir dan menganalisa. Semuanya tentunya akan sangat bermanfaat
ketika menyusun sebuah tulisan. Dengan membaca juga, penulis mengisi dirinya,
paling tidak dapat menambah pengetahuan baru dan memperluas cakrawala pemikiran
yang yang tentunya bisa menjadi sebuah ide untuk dituliskan lagi. Hal seperti
itu tentunya akan memperkaya isi tulisan dan juga dapat mempengaruhi tulisan
secara keseluruhan.
Pengaruh
lain bacaan bisa terjadi juga dalam teknik ataupun gaya menulis. Dengan membaca
kita bisa meniru gaya maupun teknik dari penulis lain. Berkaitan dengan hal
tersebut, Khrisna Pabichara pernah membahasakan pengaruh tersebut dengan
istilah Amati Tiru Modifikasi (ATM).
“Tidak
apa mencontoh, tapi setelah menemukan gaya, berhenti,” begitulah ucapnya pada
sebuah pertemuan kelas menulis.
Jika
seperti itu, artinya meniru bukan masalah dalam menulis. Jika meniru yang
dimaksud adalah copy-paste, maka itu
yang salah. Akan tetapi, meniru bisa dibenarkan selama itu masih dalam koridor
etika kepenulisan. Itulah yang sepertinya dimaksud ATM oleh Khrisna Pabichara
tadi.
Pengaruh
bacaan juga bisa kita lihat dari kisah dua penulis besar: Chairil Anwar dan
Jorge Luis Borges. Dalam buku Chairil karya Hasan Aspahani, diceritakan bahwa
Chairil adalah pembaca buku yang akut. Bacaan penulis luar dilahapnya, buku-buku
filsafat tak pernah lepas dari hari-harinya. Bahkan untuk memenuhi hasrat
membacanya, ia tak segan mencuri buku di toko buku ataupun di perpustakaan. Ia
punya pembenaran soal mencuri ini: tidak apa mencuri di toko milik Belanda,
sebab ia juga mencuri kekayaan negeri kita. Melihat gambaran itu, saya sangat
yakin bahwa Chairil telah menjadi seorang pembaca–seperti kata Seno tadi–sehingga
namanya tetap hidup hingga saat ini.
Kisah
lain, hadir pada diri Jorge Luis Borges, seorang penulis fiksi yang
disebut-sebut sebagai bapak realisme magis dunia. Dikisahkan oleh Edi AH
Iyubenu Borges menderita buta total pada usia 55 tahun tetapi mampu tetap
memukau dengan tulisannya. Edi menggunakan istilah tabungan bacaan untuk menjelaskan kemampuan Borges ini. Menurutnya,
Borges telah berkelana dengan melahap berbagai karya dunia sebelum buta. Borges
menabung bacaan-bacaannya. Bahkan ketika telah buta pun, Borges meminta orang
lain membacakan buku untuknya. Borges meminta ibunya untuk membacakan buku. Borges
adalah pembaca, dan bisa dibilang ia juga telah menjadi pembaca sebelum menjadi
seorang penulis.
Jika
dua kisah di atas belum cukup untuk mewakili, maka kita bisa tengok kisah Aan
Mansyur. Dalam wawancaranya dengan spoilaa, penulis kelahiran Bone, Sulawesi
Selatan itu mengaku mencintai buku sejak menghabiskan semua buku di rak kecil
kakeknya sewaktu SD. Kemudian cerita lain ada pada Eka Kurniawan. Dalam
wawancaranya dengan Aan Mansyur di Medium, penulis novel Cantik Itu Luka ini, mengatakan bahwa sewaktu remaja memang sudah
suka membaca dan terhibur dengan bacaannya itu. Dia membaca apa saja karena
senang saja. Eka pun mengakui bahwa sebagai seorang penulis, dia banyak
mendapat asupan dari membaca.
Kita
bisa lihat, Aan dan Eka telah memulai menabung bacaan jauh sebelum mereka
menulis. Tak dapat dipungkiri, membaca adalah salah satu aspek yang menopang
kemampuan menulis mereka hingga bisa jadi seperti sekarang.
Kisah
penulis besar di atas juga memperlihatkan bagaimana begitu berpengaruhnya
membaca terhadap perjalanan menulis seorang penulis. Jika selama ini kita
sering mendengar istilah “buku adalah jendela dunia,” maka bagi seorang penulis,
buku bukan hanya sekadar jendela untuk melihat, akan tetapi juga sebagai alat untuk
membuat jendela yang baru.
Tapi
ini tidak berarti kita harus menghabiskan waktu dengan membaca saja. Menulis
adalah sebuah keterampilan dan itu harus terus-menerus dilatih. Keterampilan yang
diasah terus menerus tentunya akan melahirkan keahlian. Seorang Phutut EA dalam
perjalanan menulisnya melakukan latihan yang salah satunya adalah membuat satu
cerpen satu hari. Ini tidak mudah karena membutuhkan ketekunan dan ketekunan
itu juga yang dibutuhkan dalam menulis. Tapi hasilnya, dia menjadi penulis yang
bisa dibilang sangat produktif.
Sebetulnya
tidak masalah jika waktu dihabiskan untuk membaca terlebih dahulu, namun akan
menghabiskan banyak waktu dikemudian hari untuk berlatih menulis lagi. Pada akhirnya
memang kembali ke individunya, yang mana ingin didahulukan. Tapi, sepertinya jalan terbaik adalah memang harus diseimbangkan, menjadi pembaca dan
harus juga harus disertai latihan menulis terus-menerus.
Penulis
yang baik adalah yang membaca, dan pembaca yang baik adalah yang menulis. Mungkin
itu adalah ungkapan yang pas di tengah kebimbangan menulis dahulu atau membaca
dahulu. Namun, jika berkaca dari penulis-penulis hebat di atas, maka jangan ragu
untuk memutuskan membaca banyak hal sebelum menuliskan banyak hal pula. Jadilah
pembaca sebelum menjadi penulis.
#KelasMenulisKepo
#KelasMenulisKepo
Posting Komentar untuk "Cara Menjadi Penulis: Jadilah Pembaca Terlebih Dahulu"