Mamuju dan Kenangan Masa Kecil
Ilustrasi: Pixabay.com |
Mamuju adalah ibukota Provinsi Sulawesi
Barat. Kota itu diapit oleh kawasan pantai dan perbukitan. Dari pantai,
terlihat sebuah pulau yang dinamai Karampuang. Pulau itu seolah melindungi
pesisir Mamuju dari hantaman ombak. Sementara itu, pada kawasan perbukitan,
terlihat jelas pemandangan kota, laut lepas dan pulau Karampuang tadi dari atas
sana. Penduduk di sana menyebut kawasan perbukitan itu dengan nama Anjoro Pitu.
Anjoro itu berarti kelapa, sementara Pitu berarti tujuh. Jadi Anjoro Pitu itu
artinya kelapa tujuh, sebab konon katanya, dulu terdapat tujuh pohon kelapa di
sana.
Bukit memang seakan identik dengan Mamuju.
Bila kita datang dari arah Makassar, maka medan berbukit dengan jalan berkelok
terlebih dahulu dilalui sebelum tiba di gerbang kota. Di sepanjang jalan juga,
akan banyak kita jumpai jurang dan tebing yang hanya dibatasi oleh aspal jalan,
Jurang di satu sisi sementara tebing yang terkadang rawan longsor di sisi
lainnya. Dengan kondisi seperti itu, tak heran jika ada anekdot yang mengatakan
bahwa Mamuju adalah kependekan dari Maju Mundur Jurang.
Saya lahir dan besar di kota Mamuju. Dulu,
di kawasan pantai terdapat dua pelabuhan; pelabuhan batu dan pelabuhan kayu. Disebut
batu, karena memang dermaganya dibangun dari kombinasi semen dan batu.
Sementara yang satunya disebut kayu, tentunya karena terbuat dari kayu. Saya
kerap kali ke sana untuk bermain atau hanya sekadar melihat orang-orang
memancing. Di kawasan pantai itu juga, dulunya terdapat sebuah restoran yang
cukup terkenal bernama Pantai Indah. Bangunannya terbuat dari kayu dan menjorok
ke laut. Saya ingat pernah dibawa orangtua ke sana pada sebuah acara
pernikahan.
Namun banyak perubahan Mamuju setelah menjadi ibukota. Pelabuhan Batu dan restoran Pantai Indah lenyap di telan proyek reklamasi. Sebuah hotel berbintang telah hadir di sana. Kemudian sebuah anjungan menyerupai anjungan Pantai Losari bertuliskan Pantai Manakarra, telah menjadi landmark baru yang menjadi primadona. Tak hanya itu, sebuah bagunan besar yang katanya Mall sedang dalam tahap pengerjaan ketika terkahir saya pulang ke Mamuju. Hanya kawasan pelabuhan kayu yang tersisa, dan itupun telah dipermak sedemikian rupa yang tentunya terlihat sangat berbeda.
Namun banyak perubahan Mamuju setelah menjadi ibukota. Pelabuhan Batu dan restoran Pantai Indah lenyap di telan proyek reklamasi. Sebuah hotel berbintang telah hadir di sana. Kemudian sebuah anjungan menyerupai anjungan Pantai Losari bertuliskan Pantai Manakarra, telah menjadi landmark baru yang menjadi primadona. Tak hanya itu, sebuah bagunan besar yang katanya Mall sedang dalam tahap pengerjaan ketika terkahir saya pulang ke Mamuju. Hanya kawasan pelabuhan kayu yang tersisa, dan itupun telah dipermak sedemikian rupa yang tentunya terlihat sangat berbeda.
Dari Anjoro Pitu, tulisan raksasa bertuliskan
Mamuju City telah ditempatkan di sana. Tulisan itu menghadap ke kota sehingga
sangat jelas terlihat walaupun dari jauh. Tulisan itu mengingatkan saya pada
tulisan Hollywod di Amerika. Adapun bangunan lainnya yang berubah adalah masjid.
Dulunya ada sebuah masjid yang cukup besar di pusat kota dengan pekarangan yang
luas. Masjid itu adalah tempat saya mengaji dulu. Namanya Masjid Agung. Setelah
direnovasi, masjid itu telah berubah menjadi masjid yang lebih besar lagi. Dua
tingkat dengan empat menara dan sebuah kubah raksasa, menjadikannya masjid
terbesar di kota Mamuju. Namanya pun berubah menjadi masjid raya As-syuhada.
Jika ada momen yang paling ingin saya
kembalikan dari Mamuju, momen itu adalah masa kecil. Setidak-tidaknya ada dua tempat yang
menyisakan kenangan masa kecil yang begitu kuat di kepala saya. Pertama adalah
rumah pertama saya (sebelum pindah). Di rumah ini saya merasakan betapa
nikmatnya menjadi anak-anak. Tiap hari hanya bermain bersama teman-teman. Main
bom, main hadang, main kelereng, main petak umpet, dan masih banyak permainan
lainnya. Bahkan kadang-kadang bermain sampai malam. Kalau sudah begitu, hanya
panggilan orangtualah yang mampu mengakhiri cerita hari itu. Saking seringnya
bermain, kadang-kadang orangtua melarang dan mengurung saya di rumah. Terkadang
juga Andaeng (bapak) menyuruh saya mencabuti rambut putihnya sebelum saya
diizinkan bermain. Sebetulnya aktivitas itu adalah paling saya benci dulunya,
tapi entah kenapa saya selalu terkenang dengan momen itu.
Kemudian tempat kedua adalah masjid Agung. Setelah pindah rumah, saya tidak mendapatkan teman baru di tempat yang baru. Tempat bermain saya berpindah tempat di masjid Agung, tempat mengaji saya tiap siang. Setiap selesai mengaji, saya dan kawan-kawan pasti bermain bola di pekarangan masjid. Kami juga kadang-kadang menggunakan bola tenis, atau tutup botol sebagai bola. Masjid itu, sudah berubah, dan tiap saya ke sana lagi, kenangan masa kecil ini selalu saja hadir.
Kemudian tempat kedua adalah masjid Agung. Setelah pindah rumah, saya tidak mendapatkan teman baru di tempat yang baru. Tempat bermain saya berpindah tempat di masjid Agung, tempat mengaji saya tiap siang. Setiap selesai mengaji, saya dan kawan-kawan pasti bermain bola di pekarangan masjid. Kami juga kadang-kadang menggunakan bola tenis, atau tutup botol sebagai bola. Masjid itu, sudah berubah, dan tiap saya ke sana lagi, kenangan masa kecil ini selalu saja hadir.
Sebagai ibukota, perubahan-perubahan
yang terjadi pada kota Mamuju memang sebuah keniscayaan. Tiap perubahan menyajikan
cerita baru dan tentunya berbeda. Hanya saja, perubahan itu terkadang begitu
“menyakitkan” sebab harus menyikirkan artefak bagi cerita-cerita yang lama.
#15HariMenulis
Posting Komentar untuk "Mamuju dan Kenangan Masa Kecil"