Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terus Hidup dengan Ngeblog

Sumber: Pixabay.com


“Bang, saya mau jadi penulis, caranya gimana yah?”

Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang pernah saya tulis dengan menyebut akun media sosial salah seorang penulis ternama Indonesia. Hasilnya sangat apes, dia tak pernah menjawab sampai hari ini. Kemungkinan besar hal itu disebabkan karena dua alasan, Pertama, karena memang pertanyaan jenis itu tak cukup bisa dijelaskan hanya dengan 140 karakter, atau kemungkinan kedua, karena pertanyaan jenis itu adalah pertanyaan bodoh, sebab belakangan saya akhirnya paham bahwa untuk jadi penulis, tipsnya sangat gampang: menulis. Hanya itu, dan saya menduga, kemungkinan kedua inilah yang lebih tepat.

Kemudian lama setelah itu, saya membuat blog (bukan blog ini) dan memposting tulisan di sana. Itu adalah tulisan pertama saya, dan tulisan tipe itu, mungkin tak akan pernah saya baca kembali. Alasannya sederhana: isinya minta ampun, bikin malu-malu sendiri. Akhirnya, nasib tulisan itu hanya sampai pada postingan pertama sekaligus terakhir, sebab setelahnya blog itu tak terawat, berlumut, dan mati.

Butuh waktu lama bagi saya untuk menulis kembali. Selain karena malas, juga karena tak tahu mau menulis apa. Saya mulai menulis kembali sejak mengenal puisi. Beberapa kali curhatan saya menjelma menjadi puisi di media sosial sendiri. Mengingat-ingat fase itu, saya jadi teringat percakapan Gusdur dengan seorang da’i. Ia menjelaskan sebab karya sastra yang ditulis sang da’i tidak bagus. “Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita makanya tulisan kamu tidak bagus”, terang Gusdur kepada si da’i. Meski puisi saya masih jauh dari kata bagus, namun seperti kata Gusdur tadi, patah hati ternyata juga membantu saya, setidak-tidaknya untuk mulai menulis lagi. Selain itu, perkenalan saya dengan karya sastra lain seperti cerpen dan novel, akhirnya mengembalikan semangat saya untuk menulis kembali.

Saya kemudian berfikir untuk menyelamatkan secuil puisi saya yang tercecer di media sosial itu. Yang pertama kali terlintas adalah mencoba mulai belajar menulis lewat ngeblog lagi sebab sepertinya, mengelola website pribadi memang betul-betul terlihat keren, pikir saya waktu itu. Saya akhirnya benar-benar membuat blog baru dan puisi-puisi saya di-publish di sana. Kemudian fase setelahnya adalah fase di mana saya mulai mencoba menuliskan berbagai macam hal di blog itu. Meski sangat tidak produktif, namun Alhamdulillah blog itu masih sehat-sehat saja sampai hari ini. Blog tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah yang anda baca saat ini.

***
Begitulah kira-kira sedikit gambaran bagaimana saya ngeblog hingga sekarang. Belajar menulis adalah motivasi terbesar saya. Kemewahan apa yang dimiliki blog adalah ia milik penulisnya, dan itu sangat membebaskan. Menulis dalam dalam berbagai genre tidak jadi masalah. Sebuah media yang sangat membantu dalam proses peningkatan kemampuan menulis.

Saya juga seringkali mendengar berbagai cerita mengenai para blogger yang mampu menghasilkan uang lewat aktivitas menulisnya di blog. Hal itu terkadang membuat saya berfikir untuk melakukan hal yang sama. Tapi untuk sekarang sepertinya tidak dulu. Saya hanya ingin fokus untuk belajar menulis, menulis dan menulis. Soal sesuatu-sesuatu di luarnya itu urusan belakangan.

Ada kenikmatan tersendiri ketika mampu menghasilkan tulisan dan di publish di blog. Itu seperti etalase bagi orang lain untuk melihat kehidupan pemilik blog itu. Saya ingat sebuah Lembaga Seni Kampus bernama Kissa. Ia memiliki motto: nama akan mati tanpa karya, dan saya yakin, ngeblog membuat pemiliknya akan terus hidup.

#15HariMenulis

2 komentar untuk "Terus Hidup dengan Ngeblog"

  1. Salam kenal bang.
    Entah kenapa adem rasanya baca huruf demi huruf yang Bang Arif tulis.

    Serasa beneran diajak ngobrol berdua :D

    Tapi kok masih sepi komentar ya?
    Yang udah baca idem atau emang gak bisa menikmati gurihnya kalimat-kalimat Bang Arif ya?
    Entahlah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cara menulis saya masih jelek bang. Masih belajar. heheheh

      Hapus