Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Budaya Mandar "Sibaliparriq": Peranan Perempuan dan Persamaan Gender Manusia Mandar

budaya mandar
Sumber ilustrasi: pixabay.com
Sebagai perantau, saya selalu merindukan suasana rumah. Suasana rumah yang penuh dengan warna Mandar, rasa Mandar. Tak terkecuali soal makanan. Loka janno (Pisang goreng) dipagi hari ditemani irisan Golla Mamea (Gula Merah), atau kuah Bau Peapi (Ikan Masak) siang harinya, dan Bau Tunu (ikan bakar) dengan Cobeq-Cobeq (sambal) saat malam menjadi makanan yang sangat langka dan mahal diperantauan. Jepa-nya, Kasippiq-nya atau Golla Kambu-nya, ada juga Pupuq, segitiga yang menggugah selera. Berbagai hal diatas adalah beberapa makanan khas Mandar yang memang sulit kita jumpai ditempat lain. Mandar memang penuh dengan berbagai kuliner khasnya, tapi berbicara Mandar bukan hanya soal makanan yang masuk ke perut, akan tetapi banyak hal lain yang bisa diungkap. Tak hanya mengenyangkan perut, tapi mengenyangkan hati, mengenyangkan pikiran serta mengenyangkan perasaan.



Mandar memang selalu menjadi hal menarik untuk diperbincangkan. Tentang sejarah, budaya, ataupun kesenian adalah beberapa hal yang menarik di Tanah Mandar.  Dari sejarah misalnya, Mandar memiliki rentetan-rentetan cerita yang amat panjang yang mewarnai perjalanan Mandar hingga sekarang. Mulai dari zaman kerajaan Pitu Baqbana Biananga-Pitu Ulunna Salu, zaman pergerakan nasional hingga sampai ke zaman modern. Kemudian dari hal budaya, ada tradisi Sayyang Pattuqduq (Kuda Menari) yang setiap tahunnya masih diadakan di Mandar.  Ada juga tradisi-tradisi bahari, seperti Sandeq, Roppong, ataupun Motangnga. Kemudian tak kalah menariknya dari aspek kesenian, kesenian Mandar juga beragam dan memiliki warna khas tersendiri. Ada Kacaping, Gonggaq, Keke hingga Calong adalah alat berbagai alat musik tradisional khas Mandar. Melihat ke semua hal tersebut menjadikan Mandar penuh warna untuk diceritakan, penuh rasa untuk diungkapkan.

Tapi selain hal di atas, sebetulnya masih banyak hal menarik lainnya tentang Mandar. Salah satunya adalah mengenai kehidupan sosial masyarakatnya. Banyak konsep-konsep yang terbentuk dalam kaitannya hubungan orang-perorang di Tanah Mandar. Pernah dengar tentang Sibaliparriq? Konsep ini adalah adalah konsep berbagi peran di Mandar. Berbagi peran antara suami dan istrinya, berbagi peran antara laki-laki dan perempuan.

Sibaliparriq, jika kita telusuri dari asal katanya maka terbagi atas dua, yakni Bali dan Parriq. Bali bermakna jawab, lawan, musuh. Jika kita tambahkan awalan  Si yang bermakna saling, maka Sibali akan bermakna saling jawab, saling lawan, atau saling musuh atau bisa juga bermakna berlawanan, atau bertanding. Sedangkan Parriq sendiri bermakna susah, atau kesusahan. Jadi sibaliparriq dapat bermakna saling menghadapi kesusahan atau sederhananya adalah saling membantu.

Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Sibaliparriq adalah konsep berbagi peran, yang dimaksudkan disini adalah istri mengambil peran suami dan begitupun sebaliknya. Inti dari konsep ini sebenaranya adalah saling kerjasama. Konsep Sibaliparriq ini kita bisa ilustrasikan dari kehidupan nelayan yang ada di Mandar. Misalnya ketika sang suami pergi melaut untuk jangka waktu tertentu, maka dapat dipastikan tak ada pemasukan ekonomi dalam hal ini adalah uang. Disinilah istri berperan, sang istri melakukan berbagai aktivitas ekonomi untuk menopang perekonomian rumah tangganya. Aktivitas itu dapat berupa Manetteq (menenun) kain sutera Mandar, untuk kemudian dijual. Atau bisa juga dengan menjual ikan ataupun berdagang. Konsep Sibaliparriq juga dapat terlihat ketika sang suami telah datang dari melaut, sang istri mengambil alih tangkapan suami. Tanggung jawab suami hanya sampai disana, urusan selanjutanya terserah sang istri apakah mau menjual ikannya, ataukah mengolahnya menjadi masakan untuk dikonsumsi.

Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bagaimana sang istri mengambil alih peran suami sebagi pencari nafkah dan kepala rumah tangga. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan. Bukankah ini berarti peran istri lebih banyak dari suami? Istri yang sudah bertugas untuk mengurus anak, suami dan urusan rumah tangga lainnya, kemudian harus bertugas lagi untuk mencari uang. Bukankah kontribusi sang istri justru lebih banyak? Katanya berbagi peran, tapi kenapa justru peran istri lebih banyak? Memang benar peran istri lebih banyak. Tetapi, peran untuk mengurus keluarga merupakan kewajiban seorang perempuan sebagai seorang istri. Mencari uang hanyalah niat tulus istri untuk membantu suami. Sibaliparriq sebenarnya bukanlah sebuah keharusan dimana istri harus melaksanakan tugas suami, namun sibaliparriq adalah bentuk kesadaran. Kesadaran untuk saling gotong royong dan saling kerjasama dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Istri melaksanakan hal tersebut bukan karena paksaan atau perintah suami tetapi atas kesadaran sendiri. Toh ketika istri pergi mencari uang dengan menjual ikan tangkapan, peran istri untuk menjaga dan merawat anak kemudian diambil alih oleh sang suami. Istri membantu suami dan suami membantu istri, inilah inti dari konsep Sibaliparriq. Ini sesuai yang dikatakan oleh Ridwan Alimuddin dalam bukunya Mandar Nol Kilometer bahwa Sibaliparriq adalah konsep yang berarti suami dan istri masing-masing adalah subyek dalam menanggulangi bersama permasalahan rumah tangga, baik masalah sosial (merawat dan mendidik anak) sampai masalah ekonomi (keuangan).

Konsep Sibaliparriq juga dapat kita temukan dalam hal pembuatan makanan. Misalnya dalam pembuatan Pupuq, makanan khas Mandar yang terbuat dari ikan. Laki-laki bertugas untuk menumbuk bahan-bahannya, sedangkan tugas untuk mengolah dan menyajikan diserahkan kepada perempuan. Begitupun dalam pembuatan Gogos, makanan yang terbuat dari beras ketan ini, biasanya di Putiq (kemas) oleh wanita dengan daun pisang. Kemudian yang bertugas membakar Gogos-nya adalah sang laki-laki. Namun meskipun bergitu, konsep Sibaliparriq sebenarnya diidentikkan dengan budaya bahari, karena suami meninggalkan anak-istrinya dalam waktu yang cukup lama ketika saat melaut. Ini menyebabkan kewajiban istri akan lebih banyak selama suaminya masih berada di laut.

Selain kerjasama, gotong royong, dan saling membantu, Sibaliparriq juga bermakna tanggung jawab. Tanggungjawab orangtua kepada anak, tanggungjawab orangtua kepada rumah tangga untuk tetap bertahan hidup. Bahkan konsep ini pun merupakan tanggungjawab manusia kepada sang Khalik untuk mencari nafkah memenuhi kebutuhan hidupnya.

Mencermati hal di atas, dapat pula dikatakan bahwa Sibaliparriq setara dengan konsep persamaan gender. Bahwa laki-laki dan perempuan itu setara. Peranan perempuan Mandar tak hanya sebatas dapur, Ia telah menembus sekat-sekat itu. Emansipasi wanita yang dicetuskan oleh R.A Kartini di Indonesia, bisa dibilang jauh-jauh hari sebelumnya telah terlaksana di tanah Mandar. Perempuan Mandar tak hanya menjadi penjaga anak atau pengurus suami semata, akan tetapi perempuan Mandar telah melampaui hal tersebut bahkan telah terjun keranah publik. Dalam konteks kekinian kita bisa melihat peran-peran perempuan Mandar diranah politk dimana banyak perempuan Mandar yang menjadi anggota DPR. Banyak juga perempuan Mandar yang menjadi tenaga pengajar semisal guru ataupun dosen, atau menjadi pegawai negeri dan lain sebagainya. Konsep Sibaliparriq memang hanya sebatas warisan nenek moyang, namun konsep tersebut akan tetap hidup dihati orang-orang Mandar. Dihati Manusia Mandar.


Daftar Rujukan
Alimuddin, M.R. 2011. Mandar Nol Kilometer Membaca Mandar Lampau dan Hari ini. Yogyakarta : Ombak
Dirawan, G.D. 2009. Konsep Sibali Parri Kesetaraan Gender Dalam Pengelolaan Lingkungan Masyarakat Mandar. Jurnal Kajian Perempuan Bunga Wellu. Volume 14, No.1, hal. 45-54.
Muthalib, Abdul. 1976. Kamus Mandar-Indonesia.
http://1rmayani.blogspot.co.id/ (Diakses pada tanggal 25 Oktober 2015)


http://mandaronline.blogspot.co.id/2007/09/sibaliparriqperangandaperempuan.html  (diakses pada Tanggal 25 Oktober 2015)

2 komentar untuk "Budaya Mandar "Sibaliparriq": Peranan Perempuan dan Persamaan Gender Manusia Mandar"

  1. Implementasi kesetaraan gender dalam praktek Sibaliparriq di Mandar, menarik untuk dianalisa lebih dalam. Sibaliparriq, jika dipersempit pada konteks bahari yang dijelaskan dalam tulisan di atas, bahwa itu awalnya terkait dengan peran perempuan (istri) saat laki-laki (suami) melaut, menarik bagi saya untuk mendalami kondisi istri-istri tersebut. Dalam tulisan di atas sebenarnya juga telah sedikit mengangkat bahwa apakah itu justru tidak menjadikan peran ganda bagi istri..??? Meski kemudian dijawab tidak, namun apakah memang faktanya suami ketika di darat, dia meggantikan peran istri mengurusi rumah tangga, anak atau dalam hal ini domestik, ketika istrinya mengambil alih tugas untuk menjual hasil tangkapan sang suami..??? Trus bagaimana akses perempuan/istri terhadap pendidikan dll..????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Analisa dalam tulisan diatas sebenarnya masih sangat lemah karena hanya merujuk dari referensi bacaan saja. Masih butuh riset mendalam dalam hal ini yakni terjun langsung melihat kehidupan nelayan mandar. Dan itu yang saya tidak lakukan. Saya minta maaf sahabat masita, karena saya tidak berani menjawab pertanyaan dari sahabat. Ya karena itu td, saya tidak pernah berbaur langsung dengan nelayan mandar. Alangkah baiknya sahabat bertanya langsung kepada penulis yang saya rujuk. Atau mungkin sahabat Masita ini tertarik untuk meneliti nelayan mandar?  Hehehe. Sekali lagi minta maaf yah ....

      Hapus