Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pelukis Tanah Liat Zaenal Beta: Menyatukan Tanah, Menyatukan Indonesia

Rangka pintu dengan model melengkung. Dua daunnya terbuka. Ruangan kecil berada di baliknya. Ukurannya selebar kamar kos–hanya sedikit lebih panjang. Langit-langitnya melengkung bercat putih, memanjang ke dalam serupa terowongan. Di dalamnya, lukisan-lukisan tertata rapi. Lampu neon tergantung sebagai penerang. Di sebuah meja, tampak beberapa wadah berisi bahan melukis yang tak lazim; tanah liat.

Seorang lelaki mempersilakan saya masuk. Setelah beberapa langkah melewati pintu, sebuah lukisan hasil karyanya terlihat jelas. Bingkainya kayu berukuran sekitar 20R. Pada lukisan yang dominan berwarna cokelat muda itu, tergambar perahu yang sedang diterjang ombak dengan awak kapal yang berjibaku mengendalikan layar. Ketika menyentuh permukaan lukisan itu, tekstur kasar tanah yang telah mengering akan terasa. Di sudut kiri bawah, tertera nama dan sidik jari pelukisnya, serta tanggal pembuatan lukisan. Ketiganya saling menumpuk.  
Pelukis tanah liat Zaenal Beta
Sebuah lukisan perahu yang diterjang ombak

Lelaki itu benama Zaenal Beta (56), seorang pelukis tanah liat. Di ruangan itu, Enal (panggilan akrabnya) banyak menghabiskan waktu. Tempat kecil yang berada di kawasan Fort Rotterdam Makassar itu adalah tumpangan gratis yang diberikan balai cagar budaya.  Enal menyebutnya studio. Di sana, banyak hasil lukisan tanah liatnya terpajang, termasuk lukisan perahu tadi.

Pria kelahiran tahun 1960 itu, mengakui bahwa teknik melukis dengan tanah liat didapatnya secara tidak sengaja. Suatu hari kertas lukisnya jatuh ke tanah kuning yang becek. Saat berusaha membersihkan, justru seperti menampakkan gambar. Sejak itu, dia pun beresksperimen dengan tanah liat dan air untuk melukis. Hingga akhirnya, sebuah pameran yang digelar di Gedung Kesenian Makassar pada tahun 1980, secara terpaksa memamerkan lukisan tanah liatnya. Ternyata banyak yang berdecak kagum dan sejak itu Zaenal Beta mulai dikenal sebagai pelukis tanah liat.

Pelukis tanah liat Zaenal Beta
Papan nama pada salah satu sudut studio Zaenal Beta

Karya-karya Zaenal Beta menjadi incaran berbagai kolektor lukisan dunia. Tak jarang, turis luar negeri menyambangi langsung studionya hanya untuk bertemu dengannya sekaligus lukisan yang akan dibelinya. Pernah suatu waktu Enal membanderol lukisannya seharga tiga juta rupiah. Seorang turis Jerman berkunjung dan membeli dengan harga yang justru lebih mahal yakni lima juta rupiah. Ternyata setelah diberi tahu, lukisan itu seperti bergerak dalam rekaman video, sebuah keunikan  yang tidak diketahui Enal. Jika sudah begitu, mau tidak mau dia harus rela melego lukisannya meski harganya sebetulnya bisa lebih mahal lagi.

“Ya rezekinya dia. Tidak mungkin beli mahal kalau dia tidak tahu isinya di dalam,” kenangnya pada peristiwa itu.

Lukisan tanah liat Zaenal Beta memang sudah lama mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Keikutsertaanya pada pameran di Taman Ismail Marzuki (TIM) tahun 1986, adalah peristiwa yang benar-benar melambungkan namanya sebagai seorang pelukis tanah liat. Maestro lukis Indonesia, Affandi, memuji metode lukisnya.

“Dari dulu kita kenal tanah airku Indonesia, tapi siapa yang pernah buktikan tanah airku Indonesia. Asal sebut tanah airku Indonesia. Yang pegang tanah airku Indonesia, kamu. Kamu pakai tanah dengan air. Baru terjawab, selama ini tidak terjawab. Tanah airku Indonesia, nda ada bisa jawab. Sekarang, kamu genggam ke sini. Makanya saya katakan, hanya satu pelukis Indonesia, hanya kamu,” Zaenal Beta meniru perkataan Affandi kepadanya saat pameran tersebut.

Affandi memang patut berbangga, sebab telah lahir generasi baru yang bisa dibilang melampaui dirinya. Di usianya yang akan memasuki kepala delapan saat itu, dia menemukan seorang Zaenal Beta, pemuda 26 tahun yang mampu merombak metode lukis dunia. Tak ayal, akibat teknik melukis itu, Affandi menyebut Enal sebagai seorang penemu

“Yang gelari saya Professor adalah Affandi,” ucap pria bernama asli Arifin ini.

Dalam perjalanannya, Zaenal Beta terus berusaha menyempurnakan teknik melukis tanah liatnya.  Riset tentang tanah liat juga tak lupa dilakukan, mulai dari Jeneponto, Barru, Toraja, Malili, Soroako dan berbagai tanah di daerah lain Sulawesi Selatan. Hasilnya, dia mendapat jawaban bahwa setiap daerah mempunyai warna tanah yang berbeda dengan daerah lainnya. Berkat itu, sekarang dia mampu membuat gradasi warna yang indah pada setiap lukisannya dengan tanah-tanah itu.


Pelukis tanah liat Zaenal Beta
Salah satu lukisan tanah liat Zaenal Beta yang menggambarkan aktivitas petani di lereng gunung

Selain mempelopori lukisan tanah liat, Zaenal Beta sebetulnya adalah sosok yang multitalenta. Pada fase awal merintis karir di kesenian, dia adalah seorang pematung yang andal. Dia pun pernah menjadi kartunis di beberapa media cetak. Berkat kemampuannya itu, tak heran jika beragam prestasi berhasil diraihnya. Tengok saja pada tahun 2003, dia berhasil masuk jajaran 60 pelukis terbaik pada kompetisi lukis se-ASEAN. Kemudian pada lomba karikatur PBB, masuk delapan besar. Terakhir, juara tiga lomba poster di Beijing. Itu belum termasuk prestasi-prestasinya di dalam negeri.  

Salah satu cita-citanya yang belum tercapai adalah menampung tanah liat seluruh Indonesia, kemudian menjadikannya sebuah lukisan. Gambar dan ukuran sudah dia dapatkan, termasuk judulnya, yakni Tanah Airku Indonesia. Hanya saja, ketidakadaan sponsor membuat impiannya itu masih sulit  terwujud. Namun hal itu tidak menghentikan harapannya.

“Artinya, dengan saya dapat  teknik dan warna, kenapa tidak bisa? Apakah salah harapan saya menyatukan tanah seluruh Indonesia?” Sebuah pertanyaan dari mulut si pelukis tanah liat, terbawa pulang bersama saya sore itu.


Pelukis tanah liat Zaenal Beta
Zaenal Beta dan lukisannya


#KelasMenulisKepo


Posting Komentar untuk "Pelukis Tanah Liat Zaenal Beta: Menyatukan Tanah, Menyatukan Indonesia"