Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jika Dipelihara, ke Mana Kebencian Akan Membawa?

Sumber gambar: pixabay.com

Baru-baru ini ketentraman bangsa Indonesia kembali terusik dengan kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Kerusuhan ini dipicu oleh seorang warga Tionghoa yang mengeluh atas pengeras suara masjid. Keluhan tersebut kemudian berbuntut panjang karena menyebabkan sebagian warga muslim disana tersinggung. Akibatnya, sekelompok warga melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah, yayasan sosial, dan beberapa tempat ibadah.

Menurut beberapa sumber, kerusuhan ini didalangi oleh aksi provokasi yang dilakukan oleh satu-dua oknum di media sosial. Aksi protes pengeras suara tadi disebar di media sosial dan dijadikan bahan propaganda untuk mengadu domba umat beragama disana. Sangat disayangkan memang, mengingat perkara tersebut sangatlah bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Sampai sekarang, kasus tersebut kemudian ditangani oleh pihak kepolisian.

Masalah di atas sebenarnya memperlihatkan bahwa tedapat sebagian masyarakat yang mengembang-biakkan kebencian dikepalanya.  Seakan-akan semua masalah  harus diselesaikan dengan jalan kekerasan. Masalah yang sebetulnya dapat diselesaikan baik-baik, justru menghsilkan sebuah permasalahan baru yang lebih komplekls. Sebuah aksi protes, kemudian menghasilkan aksi pembakaran. Sebuah masalah antar-tetangga, kemudian menjadi masalah yang menyangkut Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Inilah bukti terjadi kecacatan berfikir terjadi di sebagian masyarakat Indonesia.

Kita tidak seharusnya menyetarakan aksi protes (baca: kritik) dengan langsung berbuat anarkis, sebab mereka memang tidaklah setara. Dalam kehidupan berdemokrasi seperti Indonesia, kritikan bukanlah sebuah kejahatan. Sedangkan pengrusakan yang sifatnya anarkis, jelas-jelas adalah kejahatan yang bisa dituntut pidana. Terlepas dari cara mengkritik yang salah, misalnya dengan caci-maki, kritik tidak seharusnya dibalas  dengan kekerasan. Hal tersebut adalah sesuatu yang berlebihan. 

Idealnya, suara dibalas dengan suara, dan argumen dibalas dengan argumen pula. Jika kemudian semua orang yang melakukan kritik dapat dibunuh, maka apa jadinya bangsa ini? Semua orang akan diam, takut dihabisi. Kata Whjij Tukul, “ketika kau tak mampu lagi bertanya, kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan”. Itulah yang akan, terjadi, semua orang yang takut bicara akan pasrah dengan apa yang dilakukan oleh penguasa. Kita akan kembali ke sebuah sistem yang otoriter, dan itu sama saja dengan bunuh diri.

Ini pulalah yang terjadi di Tanjung Balai. Akal sehat telah dikalahkan dengan amarah yang berkecamuk. Padahal jika mencermati kehidupan sosial masyarakat disana yang multietnis, maka tak seharusnya kejadian ini terjadi. Banyaknya etnis yang mampu hidup harmonis, mengindikasikan bahwa masyarakat disana mampu menghargai perbedaan. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Pengrusakan justru terjadi dan mencederai kerukunan yang telah terjalin lama.

Namun, jika kita terus berdebat siapa salah, siapa benar dalam kasus ini, tentu tidak akan mendapatkan titik temu. Semua pihak akan merasa paling benar. Kasus ini telah diserahkan kepada pihak berwajib dan biar mereka yang selesaikan. Hal yang semestinya kita pikirkan adalah mengenai ancaman terhadap keutuhan bangsa ini. Konflik seperti diatas akan sangat mengancam persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia. Sebagian pengamat mengatakan  bahwa Indonesia sedang dipetakan dengan konflik-konflik untuk memecah belah bangsa. Sepertinya memang ada benarnya, kita bisa melihat apa yang terjadi di Sampang, kemudian di Tolikara, di Singkil Aceh, di Deli Serdang, dan kemudian yang terakhir ini di Tanjung Balai. Lewat sebuah provokasi dan propaganda, potensi-potensi konflik kemudian dibenturkan. Akibatnya, terbentuklah sebuah hasrat membenci satu-sama lain. Merasa diri paling benar dan segala yang berbeda harus disingkirkan. Jika hal ini terjadi terus menerus, yakin saja bangsa ini akan jatuh dalam jurang perpecahan.

Provokasi sebaiknya jangan dilawan dengan provokasi, lawanlah dengan edukasi. Propaganda kebencian jangan pula dilawan dengan propaganda kebencian, lawanlah dengan kasih sayang. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa menanam kebencian dikepala tidak akan menyelesaikan masalah tetapi justru menambah ruwet permasalahan. Beternak kebencian adalah pekerjaan berat, mengapa anda memilih profesi itu? setidak-tidaknya itulah pertanyaan yang diajukan Rocky Gerung. Ia menyindir bahwa menanam kebencian adalah sesuatu yang benar-benar merusak. Jika kita membenci segala yang berbeda dari kita tanpa mempertimbangkan baik-buruknya, maka tunggu saja setiap orang akan saling bunuh-membunuh. Jika ini kemudian dipelihara, ke mana kebencian akan membawa kita? Pertanyaan tersebut sangatlah jelas jawabannya: kehancuran.

Tentunya kita tak ingin terjerumus dalam jurang konflik berkepanjangan seperti di Jazirah Arab. Kita tidak ingin negara ini hancur lebur oleh peperangan antar  sesama rakyatnya. Hal ini tentunya akan merugikan banyak pihak termasuk diri sendiri. Yang kita inginkan adalah bagaimana bangsa ini agar tetap utuh dalam persatuan dan kesatuan. Sebab itulah satu-satunya jalan agar bangsa ini tetap berdiri kokoh.

Nasehat Imam Ali seharusnya kita renungi, “Karena mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. Kita tak seharusnya berlarut-larut berkonflik dengan perbedaan yang ada, sebab ia adalah keniscayaan. Tugas kita bukan mencari titk beda, tetapi mencari titik temu dan jalan beriringan dengan cinta kasih. Atas nama kemanusiaan, itulah titik temu bahwa kita sebagai manusia adalah sama. Dalam konteks nation-state, kita adalah saudara sebangsa setanah air yaitu Indonesia.  Jika semua orang berfikiran seperti ini, maka niscaya kehidupan bangsa Indonesia akan selalu tentram dalam kedamaian. Wallahul Muwafiq Ila Aqwamit Thoriq.

Posting Komentar untuk "Jika Dipelihara, ke Mana Kebencian Akan Membawa?"