Resensi Buku"Orang Mandar Orang Laut" Karya Muhammad Ridwan Alimuddin: Laut, Gelombang, dan Perubahan Zaman
![]() |
Ilustrasi: pixabay.com |
Dirumusan lain, keulungan pelaut Mandar ketika mengarungi gelombang zaman bukan terletak pada karya cipta, melainkan pada daya cipta (hal.156)
Itulah sepenggal
kutipan dari buku “Orang Mandar Orang Laut” hasil tulisan Muhammad Ridwan
Alimuddin. Kemarin saya menghabiskan waktu untuk membaca buku ini hingga
khatam. Buku ini adalah buku kedua Iwan yang saya baca setelah “Mandar Nol
Kilometer”. Yang berbeda adalah, buku Mandar Nol Kilometer bercerita tentang
banyak aspek kehidupan orang Mandar sedangkan buku ini lebih mengkhususkan dan
mendalami kehidupan Bahari orang Mandar.
Dalam pandangan
saya, karya ini sejatinya adalah catatan harian yang berisi rangkuman
perjalanan Iwan dalam mengamati kehidupan Laut orang-orang Mandar. Berburu
telur ikan terbang, membuat dan memasang roppong
dan berbagai ritual mistik yang terkait dengan kehidupan laut orang Mandar
tergambar dalam buku ini. Membacanya, kita serasa berlayar bersama perahu sandeq, mengarungi selat Makassar. Serasa
menghanyut dalam tradisi motanggna, Serasa
menjadi bagian dalam pembuatan roppong.
Sandeq,
motangnga dan roppong
adalah teknologi laut yang diciptakan sendiri oleh nelayan Mandar. Ketiga
teknologi inilah yang menjadi alasan kenapa Pelras-salah seorang peneliti
kelautan- berani menyebut orang Mandar sebagai pelaut ulung. Bentuk keulungan
bersahaja, karena dikembangkan seperlunya untuk mengatasi tantangan alam yang
terbentang di depan mereka (hal.4).
Ketiga teknologi
itu juga yang disinggung Iwan terhadap para pelaut Mandar dalam mengarungi
gelombang perubahan Zaman. Sandeq
yang hampir punah karena tegerus oleh Kappal
yang ukurannya besar dan lebih cepat. Motangnga
yang sudah jarang dilakukan karena ongkos melaut sangat tinggi sedangkan harga
ikan terbang yang tidak sesuai harapan. Roppong
bambu yang digantikan oleh roppong dari bahan gabus dan tali sintetis.
Perubahan-perubahan inilah yang dimaksud dalam mengarungi gelombang perubahan
zaman. Gelombang perubahan agar dapat bertahan hidup sebagai nelayan.
Kalau kita berfikir
bahwa cara-cara “tradisional” tersebut harus dipertahankan dengan alasan
memepertahankan tradisi, maka hal tersebut tentunya akan berdampak pada
pendapatan nelayan. Nelayan Mandar akan kalah
berkompetisi dengan nelayan yang telah menggunakan cara-cara yang lebih
maju. Mempertahankan cara tradisional mungkin dapat dilakuakan dengan cara
lain, misalnya sandeq race yang tiap tahun diadakan. Tetapi mempertahankannya
sebagai bagian dari pekerjaan nelayan tentunya akan merugikan nelayan yang merupakan
mata pencaharian mereka. Untuk itu para nelayan harus pandai-pandai dalam
berinovasi. Menyeesuaikan diri dengan zaman dan menciptakan teknik-teknik baru
dalam berburu ikan di lautan.
Inilah yang
dimaksud dalam kutipan diatas, bahwa keulungan nelayan Mandar bukan dilihat
dari segi karya cipta yakni sandeq,
motangnga dan roppong. Akan
tetapi keulungan pelaut Mandar dilihat dari segi daya ciptanya yang terus
berinovasi membuat sesatu yang baru sesuai dengan tuntutan zaman. Daya cipta
yang akan membuat mereka bertahan dalam mengarungi kompetisi di lautan.
Dari buku ini
banyak pengetahuan Mandar yang saya dapatkan khususnya tentang kelautan. Pallatto (katir –bambu disisi perrahu), pallayarang (tiang layar) dan peloang (bom layar) adalah sebagian
istilah-istilah perahu yang pertama kali saya dengar. Belum lagi tentang punggawa posasiq, punggawa pottana, sawi, paqjollor
dan pappalele. Baru saya pahami
bahwa mereka memiliki alur yang saling terkait dalam sebuah proses penangkapan
ikan dan pendistribusiannya. Tak hanya itu, unsur mistik pun sangat kental
dalam kehidupan nelayan di Mandar, bagaimana ketika sebelum melaut terdapat upacara
kuliwa, ritual tolak bala. Kemudian
pada saat pemasangan roppong, terdapat
prosesi yang dinamakan mappande roppong
(memberi makan roppong). Kemudian pembuatan-pembuatan perahu maupun roppong yang harus mengikuti ussul yang menjadi sisi mistik lain
nelayan Mandar. Buku ini memberikan pengetahuan baru kepada saya, pengetahuan
tentang posasiq Mandar.
Saya bukan
seorang nelayan, tak pernah tahu tentang melaut, tapi lewat buku ini saya bisa
merasakan gelombang laut yang menerpa sandeq,
membasahi tubuh dan mengigil diterpa angin laut. Saya bisa merasa terombang-ambing
oleh gelombang saat menghanyut mencari telur tuing-tuing (ikan terbang) dan saya bisa paham bahwa roppong adalah pusat pengangkapan ikan
oleh para nelayan. Lewat buku ini saya bisa sedikit paham tentang laut dan
kehidupan para nelayan Mandar.
Saya teringat tulisan diawal buku ini yang menyiratkan bahwa masih banyak orang Sulawesi Selatan yang cenderung untuk melupakan, bahkan sampai ada yang malu mengakui, asal-usulnya (hal.xxi). Tak hanya itu, sebagian orang bukan saja melupakan budaya bahari, akar budaya mereka sendiri, tetapi bahkan meledek kelompok masyarakat yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang berorientasi ke laut (hal.xxii). Melupakan budaya laut berarti melupakan nenek-nenek moyang kita sebagai pelaut. Menghina kelompok yang berorientasi laut berarti menghina diri sendiri yang berasal-usul laut. Bukankah ada sebuah lagu anak-anak yang berbunyi “nenek-moyangku seorang pelaut”. Ini menyiratkan kembali bahwa kita memang negeri yang berorientasi laut. Indonesia secara umum adalah negeri laut yang wilayahnya kurang lebih 75% laut. Meskpipun kita tak terjun langsung dan berinteraksi langsung dengan laut, akan tetapi sikap menghargai harus tetap ditanamkan kepada generasi muda. Mereka juga harus paham bahwa sebagian dari mereka- meskipun itu hanya titik terkecil- adalah laut.
Saya teringat tulisan diawal buku ini yang menyiratkan bahwa masih banyak orang Sulawesi Selatan yang cenderung untuk melupakan, bahkan sampai ada yang malu mengakui, asal-usulnya (hal.xxi). Tak hanya itu, sebagian orang bukan saja melupakan budaya bahari, akar budaya mereka sendiri, tetapi bahkan meledek kelompok masyarakat yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya yang berorientasi ke laut (hal.xxii). Melupakan budaya laut berarti melupakan nenek-nenek moyang kita sebagai pelaut. Menghina kelompok yang berorientasi laut berarti menghina diri sendiri yang berasal-usul laut. Bukankah ada sebuah lagu anak-anak yang berbunyi “nenek-moyangku seorang pelaut”. Ini menyiratkan kembali bahwa kita memang negeri yang berorientasi laut. Indonesia secara umum adalah negeri laut yang wilayahnya kurang lebih 75% laut. Meskpipun kita tak terjun langsung dan berinteraksi langsung dengan laut, akan tetapi sikap menghargai harus tetap ditanamkan kepada generasi muda. Mereka juga harus paham bahwa sebagian dari mereka- meskipun itu hanya titik terkecil- adalah laut.
Beberapa waktu
belakangan, salah seorang menteri Kelautan di era Presiden Jokowi, yakni Susi
Pudjiastuti menghebohkan dunia internasional. Bagaimana tidak, ia dengan gagah
berani memerintahkan menangkap nelayan dari negeri tetangga yang melanggar
batas laut Indonesia. Tak hanya itu, ia juga memerintahkan untuk menghancurkan
kapal-kapal nelayan tersebut hingga tenggelam dilautan. Ini adalah salah-satu bentuk
untuk mengembalikan kejayaan laut Indonesia yang sempat tersohor diera Kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit. Memperkenalkan budaya bahari kepada generasi muda juga
merupakan salah satu jalan yang tebaik untuk menjayakan laut Indonesia kembali.
Buku inipun demikian, menjadi jalan untuk memperkenalkan laut kepada generasi
muda bangsa pada umumnya dan Mandar pada khususnya.
“Jalesveva Jaya
Mahe”, ini merupakan semboyan TNI (Tentara Nasional Indonesia ) Angkatan Laut
Indonesia. Semboyan ini saya dapatkan ketika membaca tentang pelayaran sebuah
kapal Pinisi yang juga merupakan KRI (Kapal Republik Indonesia) yang namannya
saya lupa. Semboyan ini sangat enak ditelinga pun dengan makna dibaliknya. Menurut
saya sangat sesuai dengan konteks dulu, kini dan akan datang. Izinkan saya mengakhiri
tulisan ini dengan mengutip semboyan tersebut. “Dilaut kita berjaya”, itulah
maknanya. Semoga kejayaan laut Indonesia kembali pada puncak tertinggi.
Identitas Buku
- Judul Buku : Orang Mandar Orang Laut
- Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
- Penerbit : Ombak
- Tahun : 2013
- Tebal : xxvi + 183 hlm.
- Dimensi : 15 x 23 cm.
- ISBN : 978-602-258-106-2
- Harga : Rp. 61.500,00
Posting Komentar untuk "Resensi Buku"Orang Mandar Orang Laut" Karya Muhammad Ridwan Alimuddin: Laut, Gelombang, dan Perubahan Zaman"