Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku "Mandar Nol Kilometer" Karya Muhammad Ridwan Alimuddin: Semangat Nilai-Nilai Amandarang Dari Titik Nol

resensi buku mandar nol kilometer
Ilustrasi: pixabay.com

Andaeng (ayah) saya adalah orang Mandar, begitupun Atta (ibu) saya adalah orang Mandar. Itu artinya pada setiap nadi saya mengalir darah Mandar. Itulah hal yang seakan saya nafikan selama ini. Saya tak paham Mandar itu seperti apa, saya tak tahu apa dan bagaimana Mandar sebenarnya. Saya tumbuh dan berkembang didaerah “perkotaan”, tepatnya di ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, yakni Mumuju. Meskipun di Mamuju juga terdapat banyak orang Mandar, namun kehidupan keseharian sangat jauh berbeda menurut saya. Lingkungan sosial inilah yang mungkin membuat saya tak banyak tahu tentang akar budaya saya. Meskipun saya juga sering ke Mandar ketika waktu-waktu libur sekolah, tapi itu tak banyak membuat saya paham tentang Mandar, hanya sebatas silaturahmi. Mungkin salah-satunya juga karena saya jarang bertanya tentang Mandar kepada kedua orang tua. Bahkan sampai sekarang, setelah menjadi mahasiswa, saya pun masih belum mampu bertutur dengan bahasa Mandar, meskipun sebenarnya saya paham ketika orang bericara dengan bahasa mandar. Sungguh ironis bukan, saya mungkin salah seorang penyebab terancam punahnya bahasa Mandar seperti yang disebut dalam buku ini (hal. 322).

Mandar dalam pandangan saya selama ini adalah hanya sebatas wilayah Polewali Mandar dan Majene, namun ternyata tak sesempit itu, Mandar secara politik adalah dari Paku hingga Suremana (hal. 320), inilah wilayah Sulawesi Barat. Menurut sejarah, sepanjang wilayah tersebut, dahulu, terdapat empat belas kerajaan membentuk aliansi kerajaan Pitu Ulunna Salu ( tujuh kerajaan di pegunungan) dan Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di pesisir laut). Itulah Mandar. Makanya kenapa Muis Mandra, salah satu tokoh yang dijelaskan dalam buku ini lebih memilih istilah Provinsi Mandar ketimbang Provinsi Sulawesi Barat (hal. 73). Akan tetapi, secara budaya, Mandar memang hanya mencakup sebagian besar Kabupaten Majene dan Kabupaten Polewali Mandar (hal. 320).

Nol Kilometer. Sebab tiada 1000 kilometer tanpa beranjak dari sana (hal. 327). “Mandar Nol Kilometer” itulah judul besar yang tertulis pada halaman sampul buku ini dilengkapi dengan potret dua orang bocah yang duduk diatas kuda dan didampingi seorang lelaki yang berdiri disamping kuda tersebut.  Sejauh yang saya pahami, judul ini dipilih karena penulis terinspirasi dari buku Makassar Nol Kilometer dan karena memang, peristiwa-peristiwa yang ada dalam buku ini terjadi disekitar titik nol kilometer Mandar, yakni Balanipa. Meskipun sebenarnya titik itu belum disepakati. Namun demikian, menurut saya pemilihan judul ini sangatlah tepat. Jika diizinkan, maka saya memaknainya bahwa segala sesuatu itu memang berawal dari nol. Kita sebagai manusia pun demikian, berasal dari “tidak ada” menuju “ada”. Jalanan yang dilalui untuk menuju tujuan kita, yakni “keadaan” inilah yang di sebut sebagai proses. Namun ketika kita telah sampai pada titik itu, kita terkadang lupa darimana kita bermula, Padahal itulah hal yang terpenting. Itulah titik nol. Inilah menurut saya makna sebenarnya dari buku ini, Titik nol Mandar adalah awal mula peradaban Mandar, awal kemajuan Mandar. Ada satu kutipan  menarik dalam buku ini yang relevan dengan kondisi nol kilometer. Penulis berujar “Bagi saya, kita, khususnya masyarakat Mandar, harus membiasakan diri untuk menganggap proses sebagai bagian yang diutamakan. Sebab itulah pondasi dari apa yang diperoleh” (hal. 280).

Sementara itu judul kecilnya adalah “Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini”, ini juga sangatlah sesuai dengan isi buku, karena kita memang dibawa ke masa lalu, ke masa-masa kerajaan Mandar dahulu, kemudian maju menuju realitas yang  terjadi saat ini. Kita dibawa menyelami Mandar lebih dalam. Tentang sejarah, tokoh, tradisi, lingkungan dan banyak hal lain yang menyangkut amandarang (pengetahuan tentang mandar) diungkap disini. Orang yang tak tahu Mandar, yang membaca buku ini, saya yakin akan merasa berada di Mandar, merasakan suasana Mandar, kebudayaan Mandar, interaksi sosial yang ada di Mandar. Merasakan sensasi Mandar dari sebuah bacaan. Inilah yang juga saya rasakan selama membaca buku ini.

Saya pernah mendengar tentang Ujung Lero, perkampungan Mandar yang ada di Pinrang, tapi saya tak tahu bahwa ada perkampungan Mandar yang ada di Jawa Timur dan Bali. Saya tahu tentang alat musik rebana Mandar, tapi saya tak pernah tahu bahwa ada seorang maestro rebana di Mandar, Parrabana towaine (pemain rebana wanita) yaitu Ammaq Cammana’ (ibu Cammana’) yang penah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari mantan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono. Saya pun tahu tentang kecaping (kecapi) Mandar, tapi saya tak pernah tahu bahwa ada alat musik bambu yang disebut calong (Alat musik ini bisa disejajarkan dengan angklung yang ada di Jawa Barat, tapi cara memainkannya berbeda, dipukul). Saya pun baru tahu tentang  Teater Flamboyant yang bisa dibilang sebagai kelompok seni tertua yang ada di Mandar sampai saat ini.

Pun demikian terhadap tradisi Mandar, posiq boyang (pusat rumah) misalnya, saya tahu, tapi tak tahu maksud dan tujuannya apa. Kemudian tentang sayyang pattuqdu (kuda Menari). Saya sering menyaksikan arak-arakan Sayyang Pattuqdu, bahkan kakak saya pernah menjadi tomissawe (orang yang naik sayyang pattuqdu), namun saya tak pernah tahu bahwa ada seorang buta di Suruang (salah satu kampung yang ada di Mandar) yang melatih sayyang patttuqdu sehingga bisa menari. Saya tahu Mandar, tapi tak paham Mandar. Tak mengerti Mandar secara hakiki. Hanya sebatas tahu. Membaca buku ini membuat saya paham bahwa Mandar ternyata kaya akan budaya, kesenian, tradisi dan bahkan nilai-nilai spiritualitas yang sangat tinggi. Membuat saya sadar pentingnya untuk memahami budaya sendiri. Memahami diri sendiri seharusnya dimulai dari memahami akar budaya. Karena akar budayamu adalah dimana kau bermula.

Buku ini menurut saya adalah kumpulan tulisan yang sangat luar biasa. Terlepas karena ini adalah buku Mandar pertama yang saya baca penuh, namun buku ini patut disebut sebagai “lontaraq” modern yang mendokumentasikan Mandar. Pada akhirnya, saya harus berterima kasih kepada sang penulis Muhammad Ridwan Alimuddin (yang dari buku ini pula saya tahu kalau dia akrab dipanggil Iwan) karena buku inilah yang menyadarkan saya akan latar belakang saya. Bung Iwan “menampar” wajah saya dengan begitu keras, dan mengatakan bahwa “I’o di'e Mandar. Kindo’ Kama’mu Mandar. Tapi apa na ndangi muissang Mandar? siri' tu’u di’o” (kamu itu adalah Mandar, Ibu Bapakmu Mandar. Tapi kenapa kamu tidak tahu Mandar? Malu itu).

Buku ini akan menumbuhkan semangat untuk memahami Mandar. Tak hanya saya, orang lain pun akan demikian. Orang-orang yang lahir dan tumbuh berkembang di Mandar, orang-orang yang memiliki darah Mandar yang jarang ke Mandar, orang-orang Mandar yang tak pernah lagi ke Mandar, bahkan orang-orang yang bukan orang Mandar yang tak memiliki darah Mandar akan memiliki semangat ingin tahu akan amandarang. Bung Iwan meramu tulisan yang sangat menarik, mendokumentasikan dalam sebuah buku yang membuat saya rindu akan Mandar, yang membuat saya tak sabar ingin belajar amandarang. Semangat kesenian Mandar, semangat tradisi dan budaya Mandar, semangat spiritualitas Mandar, dan semangat para tokoh-tokoh Mandar. Semangat itu ada, semangat itu bermula. Terima kasih Bung.



Identitas Buku
  • Judul Buku : Mandar Nol Kilometer Membaca Mandar Lampau dan Hari Ini
  • Penulis : Muhammad Ridwan Alimuddin
  • Penerbit : Ombak
  • Tahun : 2011
  • Tebal : XX + 333 hlm.
  • Dimensi : 14,5 x 21 cm
  • ISBN : 978-602-8335-74-6

Posting Komentar untuk "Resensi Buku "Mandar Nol Kilometer" Karya Muhammad Ridwan Alimuddin: Semangat Nilai-Nilai Amandarang Dari Titik Nol"