Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Resensi Buku Eka Kurniawan: Menikmati Humor dan Sindiran cara Eka Kurniawan

resensi buku eka kurniawan

Eka Kurniawan (selanjutnya disebut Eka) mungkin penulis Indonesia yang paling diperhitungkan dalam peta sastra dunia hari ini. Berkat penerjemahan karyanya ke berbagai bahasa, karangan-karangannya  dibaca dan membuat  namanya  dikenal dunia. Pada tahun 2016, ia memperoleh penghargaan World Reader’s Award lewat karyanya Cantik Itu Luka yang diterjemahkan menjadi Beauty is a Wound. Di tahun yang sama, karyanya yang lain, Man Tiger terjemahan dari Lelaki Harimau, masuk dalam nominasi panjang The Man Booker International Prize. Bahkan di tahun 2018, Eka menjadi salah satu pemenang dari Prince Claus Awards untuk kategori sastra yang diselenggarakan oleh kerajaan Belanda. Rentetan penghargaan internasional tersebut, membuktikan kualitas tulisan pria kelahiran Tasikmalaya tahun1975 ini.

Sebelum mencapai kegemilangan dalam dunia sastra seperti sekarang, Eka memulai karirnya sebagai seorang penulis cerita pendek (cerpen). Cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media cetak. Cerpen-cerpen awalnya pada periode 1999-2000 kemudian diterbitkan menjadi buku oleh Yayasan Aksara Indonesia pada tahun 2000. Kumpulan cerpen (kumcer) tersebut  berisi 12 cerpen  yang diberi judul Corat-Coret di Toilet. Beberapa kali cetak ulang dan yang berada di tangan saya ini adalah terbitan Gramedia Pustaka Utama.

Di buku fiksi pertamanya ini,  Eka mampu menyajikan kisah-kisah yang berangkat dari persoalan kehidupan manusia. Persoalan tersebut mungkin saja sering kita jumpai atau bahkan pernah kita alami sendiri. Tentang politik, penguasa yang otoriter, persoalan sosial, hingga drama percintaan. Uniknya ia menyisipkan humor-humor segar yang menyenangkan untuk dibaca. Lihat saja misalnya di cerpen Teman Kencan. Di sana kita akan bertemu Boy, seorang aktivis mahasiswa yang menyedihkan. Ia begitu kesepian di suatu malam minggu karena tak punya pasangan. Ia menelepon satu-persatu beberapa kenalan wanitanya untuk diajak kencan. Hanya saja, semuanya gagal. Semua? Tidak! Ternyata ada juga yang berhasil ia goda. Namanya Ayu, mantan pacarnya sendiri. Boy kemudian menuju pondokan Ayu dengan membawa harapan besar kembali merajut tali kasih dengan Ayu. Tapi harapannya pupus sebab ia dibuat terkejut dengan keadaan Ayu yang sedang hamil. “Jadi...kau sudah kawin?” (hal. 37).  Begitulah cerpen Teman Kencan itu diakhiri dengan sebuah pertanyaan Boy yang pelan, monoton, dan menyedihkan. Sungguh akhir cerita yang sangat layak untuk ditertawakan.

Menariknya, humor Eka seperti itu tidak sekadar membawa tawa. Ia berisi. Maman S. Mahayana menyebutnya dengan istilah komedi-satire. Eka memang kerap membangun cerita dengan menyelipkan beberapa komentar yang menyindir banyak hal. Di Teman Kencan, Eka membuka paragraf pertamanya dengan kalimat seperti ini: Presiden yang menyebalkan itu tumbang sudah. Terharu aku dibuatnya ....(hal. 30). Siapapun yang membaca cerpen itu dan melihat latar belakang penulisannya, seharusnya bisa menebak siapa presiden menyebalkan yang dimaksud  Eka.

Suara sindiran juga terdapat di Dongeng Sebelum Bercinta. Cerpen ini bercerita tentang perjodohan seorang perempuan bernama Alamanda dengan kakak sepupunya. Calon suaminya itu sangat mencintainya, sementara Alamanda tidak sama sekali. Alamanda menolak mati-matian pada awalanya. Tapi karena terdesak  berbagai pertimbangan, ia menerima dan akhirnya menikah dengan kakak sepupunya itu. Seperti judulnya, dari awal Alamanda tak ingin bercinta bersama suaminya sebelum membacakan sebuah dongeng. Dongengan Alamanda tak kunjung selesai hingga kurang lebih sebulan pernikahan mereka. Bayangkan, betapa menyiksanya kegagalan bercinta dengan pasangan yang sudah sah, yang sudah halal, dan sialnya, itu terjadi hanya gara-gara sebuah dongeng.

Sekilas cerpen ini telihat semata menghadirkan drama hubungan sepasang pengantin baru. Akan tetapi sesungguhnya lebih dari itu: ia menyindir sikap tirani orangtua yang kadang-kadang menjengkelkan. Ya, di sana Alamanda  berusaha melawan sikap totalitarianisme sang ayah yang kaku (hal. 17). Pada akhirnya Alamanda menyerah dan kalah. Ia mengutuki nasibnya bersanding dengan orang yang ia anggap menyebalkan. Dan sebagaimana yang kita tahu, ia mendongeng dan dongengnya sebelum bercinta ia anggap sebagai perlawanan terhadap kekolotan tradisi keluarganya (hal. 15).

Nada sindiran lain yang lebih mengena ada pada cerpen yang juga menjadi judul kumcer ini: Corat-Coret di Toilet. Kisah itu mungkin terlihat sangat sederhana, yakni sekadar kisah berbalas tulisan di dinding toilet. Akan tetapi, ia menarik karena disajikan dengan gaya yang mengundang tawa. Ditambah komentar politik di sana-sini, cerpen itu seharusnya menjadi sindiran keras terhadap situasi politik saat itu. Tulisan terakhir yang disetujui oleh banyak pengunjung toilet adalah: aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet (hal. 29). Cerpen itu ditulis pada tahun 1999, tapi  bisa dibilang, suaranya bahkan mengolok-olok hingga hari ini.

Itulah gambaran kecil cerpen-cerpen Eka dalam kumcer Corat-Corat di Toilet. Seperti ketiga cerpen di atas, sembilan cerpen lainnya juga memiliki gaya humor dan sindirannya masing-masing. Bagi pecinta karya Eka, buku ini seharusnya masuk dalam rak buku sebagai koleksi. Tapi bagi yang belum mengenal Eka dan memutuskan untuk membaca karyanya, buku ini sangat bisa menjadi pintu masuk untuk mengenal karya-karyanya yang lain. Dan bagi pembaca yang tidak berada pada posisi keduanya, setidaknya membaca kumcer Corat-Coret di Toilet bisa menjadi hiburan yang mengasyikkan, yang bisa dinikmati misalnya dalam situasi seperti ini: di teras rumah bersama segelas kopi hitam dan pisang goreng hangat. Selamat membaca!



Identitas Buku

Judul: Corat-Coret di Toilet
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Ketiga, Juni 2016
Tebal: 129 halaman
ISBN: 978-602-03-2893-5
Foto: Dokumentasi Pribadi

Posting Komentar untuk "Resensi Buku Eka Kurniawan: Menikmati Humor dan Sindiran cara Eka Kurniawan"